Saturday, 4 January 2014

Tawajjuh Sebagai media dakwah persuasif


Tawajjuh Sebagai media dakwah persuasif
Dalam Kitab Hidayah al-Thalibin karangan Fadhilah as-Syekh Ismail Usman Zain, Beliau menjelaskan tentang keutamaan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah SWT (Dzikir Bersama), dibandingkan dzikir sendirian. Beliau mencantumkan sebuah hadits yang artinya “Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar menemui Para Sahabat yang duduk berkumpul. Beliau bertanya, “apa yang menyebabkan kalian duduk bersama ?” Para Sahabat menjawab, “Kami duduk bersama untuk berdzikir bersama kepada Allah, memuji-Nya atas segala hidayah dan karunia-Nya berupa Islam yang diberikan kepada kami.” Rasulullah bertanya lagi, “Demi Allah, apa yang menyebabkan kalian duduk bersama selain hal tersebut ?”. Para Sahabat menjawab, “Demi Allah tidak ada tujuan lain kami duduk bersama selain tujuan itu.“ Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya aku menyumpah kalian bukan karena berburuk sangka kepada kalian, tapi Malaikat Jibril datang kepadaku mengabarkan, bahwa Allah membanggakan kalian kepada Para Malaikat.” (HR. Muslim, At-Turmudzi dan An-Nasa’i)
Dalam hadits yang lain, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang :
“Sesungguhnya Allah mempunyai sejumlah malaikat yang berkeliling di muka bumi. Ketika mereka menemukan suatu majelis dzikir, para malaikat itu terbang ke langit.
Allah bertanya,”Dari mana kalian ?”
“Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu yang membaca tasbih, tahmid, takbir dan dzikir lailaha illallah, meminta dan memohon perlindungan kepada-Mu.”
Allah bertanya,”Apa yang mereka minta ?”
“Mereka meminta surga.”
“Apakah mereka pernah melihat surga?”
“Belum ya Tuhanku,”
“Bagaimana seandainya mereka melihatnya ?”
“Pasti mereka lebih semangat lagi untuk meminta.”
“Dari apa mereka meminta perlindungan kepada-Ku ?”
“Dari Neraka”
“Apakah mereka pernah melihatnya ?”
“Belum ya Tuhanku”
“Bagaimana seandainya mereka melihatnya ?”
“Pasti mereka lebih semangat untuk meminta perlindungan-MU”
Kemudian Allah yang Mulia berfirman, “Saksikan wahai malaikat, bahwa sesungguhnya Aku mengampuni dosa-dosa mereka, mengabulkan permintaan mereka, dan melindungi dari apa yang mereka minta perlindungan kepada-Ku.”
“Ya Rabb, sesungguhnya di tengah-tengah mereka ada sebagian orang yang tidak berniat untuk dzikir seperti yang lain.”
Allah berfirman, “Aku juga memaafkan dosa-dosa mereka, semua orang yang duduk di tempat itu tidak akan merugi.”
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan dzikir bersama. Inilah yang kemudian dijadikan landasan para Ulama’ Sufi untuk melakukan tawajjuh dan dzikir bersama, menurut format dan desain masing-masing.
Di samping keutamaan sebagaimana penjelasan di atas, tawajjuh bermanfaat untuk mengajak umat untuk bersama-sama menuju kepada Allah SWT. Umat diajak untuk berdzikir dan memohon pengampunan Allah SWT atas semua dosa kecil dan besar yang pernah dilakukan. Sekeras dan sekotor apapun hati seseorang, manakala telah hanyut dalam lautan dzikir, Asma Allah “menyapa” hati-hati itu, maka lambat-laun akan menjadi lembut dan bersih. Dzikir bersama dijadikan sebagai starting point untuk meningkatkan dzikir infirad di tempat masing-masing, sehingga hari-harinya dipenuhi dengan alunan dzikir mengagungkan Allah dan Rasulullah.
Tawajjuh atau dzikir bersama ini oleh Para Ulama’ Sufi lewat thariqahnya kemudian dijadikan sebagai salah satu media dakwah kepada masyarakat. Dakwah yang lemah-lembut, mengetuk hati dan pikiran, mengelus-elus ruang sukma yang paling dalam, tanpa menyalahkan dan menyinggung perasaan, terbukti sangat efektif menyadarkan masyarakat. Inilah salah satu metode dakwah persuasive yang dikembangkan oleh Para Pendakwah Islam dari kalangan thariqah, sehingga ajaran Islam bisa berkembang ke berbagai belahan dunia ini.
Metode dakwah adalah cara mencapai tujuan dakwah, supaya berhasil dalam tujuan yang diinginkan. Dalam berdakwah membawa pesan ajaran Islam, harus selalu berpedoman kepada  prinsip-prinsip metode dakwah sesuai firman Allah Swt, dan Hadits Nabi Muhammad Saw. Antara lain :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …….“ (Q.S. An-Nahl 16: 125)
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa ada tiga prinsip umum metode dakwah yaitu ; Metode Hikmah, Metode Mau’izhah Hasanah dan  Metode Mujadalah billati hiya ahsan. Ulama’ memberikan penjelasan terhadap tiga prinsip metode tersebut, yaitu :
Pertama, Dakwah bil Hikmah, adalah penyampaian materi yang berisi perkataan yang jelas, tepat, dan tegas, disertai dengan dalil-dalil kuat yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan. Metode hikmah ini dapat dipergunakan untuk berdakwah kepada orang-orang dari kalangan intelektual, berilmu pengetahuan atau berpendidikan tinggi. Dalam hal ini, para pendakwah harus menyampaikan materi dakwah dengan keterangan dan alasan disertai dalil-dalil yang tepat dan sesuai, dan disampaikan dengan cara bijaksana tanpa kesan menggurui, sehingga dakwah tersebut dapat diterima dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Metode Mau’izhah Hasanah. Menurut ulama’, mau’izhah hasanah adalah memberi peringatan kepada orang lain, dengan berbagai wejangan berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan Pahala, Siksa dan lain-lain. Mau’izhah tersebut diharapkan mampu menyadarkan dan menaklukkan hati orang lain.
                Metode ini dipergunakan untuk berdakwah kepada orang-orang awam, yaitu orang yang belum dapat berfikir secara kritis karena ilmu pengetahuannya masih rendah. Mereka pada umumnya mengikuti sesuatu tanpa pertimbangan terlebih dahulu, dan masih berpegang pada adat istiadat yang turun temurun. Kepada mereka ini harus disajikan materi yang mudah dipahami, dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dimengerti.
Ketiga, Metode Mujadalah billati hiya ahsan. Metode ini menitikberatkan kepada tukar fikiran atau diskusi dalam membahas suatu persoalan, dengan cara sebaik-baiknya. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin, orang-orang yang melakukan tukar fikiran itu jangan sampai beranggapan, bahwa yang satu sebagai lawan bagi yang lainnya. Tetapi mereka harus menganggap, bahwa para peserta mujadalah atau diskusi itu sebagai kawan yang saling tolong-menolong dalam mencapai kebenaran.
 Metode ini digunakan untuk menyeru dan mengajak orang-orang yang masuk golongan pertengahan, yaitu orang yang tidak terlalu tinggi pendidikannya, dan tidak pula terlalu rendah. Mereka sudah dapat diajak bertukar fikiran secara baik dalam mencari kebenaran, dan tidak terlalu sulit menerima dakwah yang disampaikan kepada mereka.
Selain itu, dengan berdasarkan firman Allah SWT di atas, ada tiga golongan yang dihadapi dengan tiga metode yang dapat digunakan oleh para pendakwah, yaitu :
a. Golongan cerdik cendikiawan, yang cinta kebenaran dan dapat berfikir kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil dengan hikmah, yakni hujjah (argumentasi) yang dapat diterima dengan kekuatan akal mereka.
b. Golongan awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi. Mereka ini diajak dengan mau’izhah hasanah, yakni penjelasan yang sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami,  disertai keteladanan yang baik dari orang yang berdakwah kepada mereka.
c. Golongan menengah, yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan di atas, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai pula bila dilayani seperti golongan awam. Golongan ini dihadapi dengan anjuran dan didikan yang baik, yaitu dengan ajaran-ajaran yang mereka suka membahasnya. Tetapi di dalam batas tertentu, mereka tidak sanggup mengkaji lebih mendalam. Golongan seperti ini diajak dengan mujadalah billati hiya ahsan, yaitu dengan bertukar-fikiran dengan cara yang paling baik, guna mendorongnya supaya berfikir secara sehat, antara satu dengan yang lainnya.
Selain metode dakwah sesuai firman Allah Swt dalam Surah An-Nahl ayat 125 tersebut, para ulama’ juga menggunakan metode dakwah sesuai sabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“ Siapa di antara kalian melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.” [ H.R. Muslim ]
Dari hadis tersebut terdapat tiga cara metode dakwah yaitu :
1.       Metode dengan tangan (bilyadi)
Tangan di sini bisa difahami secara tekstual terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi. Tetapi, tangan juga bisa difahami dengan kekuasaan atau power, dan metode dengan kekuasaan sangat efektif bila dilakukan oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
2. Metode dakwah dengan lisan (bil lisan)
Maksudnya adalah dengan menggunakan kata-kata yang lemah lembut, yang dapat dipahami oleh obyek dakwah, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati. Kata-kata halus yang dibarengi dengan sikap persuasif, jauh lebih efektif daripada kata-kata kasar yang menyinggung perasaan obyek dakwah. Hal ini disebabkan tipe mayoritas manusia cenderung tidak mau        disalahkan secara langsung,                     mereka lebih menerima apabila mendapat teguran dengan cara sehalus mungkin. 

3. Metode dakwah dengan hati (bilqolb)
Yang dimaksud dengan metode dakwah dengan hati, adalah dalam berdakwah hati harus tetap ikhlas, dan tetap mencintai obyek dakwah dengan tulus. Apabila suatu saat  obyek dakwah menolak pesan dakwah yang disampaikan, mencemooh, mengejek bahkan mungkin memusuhi dan membenci da’i atau muballigh, maka hati da’i harus tetap sabar, tidak boleh membalas dengan kebencian. Dalam keadaan seperti apapun,  seorang da’i harus tetap mencintai obyek dakwah, dan dengan ikhlas hati  hendaknya mendo’akan obyek supaya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Sayyidil Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Bin Hasyim Bin Yahya menjelaskan, bahwa dakwah harus disampaikan dengan penuh kasih sayang kepada obyek dakwah, supaya apa yang disampaikan oleh seorang muballigh dengan mudah masuk ke dalam hati obyek dakwah. Sebaliknya, kalau dakwah disampaikan dengan berdasarkan kebencian dan kemarahan kepada obyek dakwah, maka akan sangat sulit diterima oleh obyek dakwah, karena ada semacam tabir penghalang yang terbentuk akibat nafsu amarah muballigh tersebut.
Alhasil, dakwah lewat tawajjuh ini sangat efektif karena disampaikan dengan cara persuasif, tidak menyinggung dan menyalahkan, tidak terkesan menggurui, tapi yang diketuk adalah hati nuraninya, lewat dzikir dan wejangan-wejangan yang disampaikan secara lemah-lembut.
Dalam acara tawajjuh Syadziliyyah yang dikembangkan di Bangkalan, RKH. Fakhrillah Aschal mendesain sedemikian rupa, dengan mengkondisikan suasana khidmah dan khusyuk mulai awal sampai akhir acara.  Dzikir yang dilakukan secara bersama-sama, terbukti bisa membersihkan hati dan membeningkan jiwa, apalagi disertai wejangan-wejangan tentang kebersihan hati dan mengingat mati, membuat jamaah hanyut dalam kekhusyukan merasakan kenikmatan yang tiada tara. Dalam kondisi hati dan jiwa yang seperti itu, materi dakwah yang disampaikan akan mudah diterima, diingat, untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.              Semoga bersamaan dengan Ridha Allah SWT, Amin Ya Robbal ‘Alamin…
…………………………………ooo……………………………………

sumber :
 

RISALAH SYADZILIYYAH
Menggapai Untaian Mutiara Hikmah
Edisi II : Rabi’us Tsani 1434 / Maret 2013


No comments:

Post a Comment

Charly setia band nyantri di pp syaichona cholil

https://youtu.be/2ELP8ewuNHc https://youtu.be/2ELP8ewuNHc