Tawajjuh Sebagai media dakwah persuasif
Dalam
Kitab Hidayah al-Thalibin karangan Fadhilah as-Syekh Ismail Usman Zain, Beliau
menjelaskan tentang keutamaan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah SWT
(Dzikir Bersama), dibandingkan dzikir sendirian. Beliau mencantumkan sebuah
hadits yang artinya “Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar menemui Para Sahabat yang duduk berkumpul. Beliau bertanya, “apa
yang menyebabkan kalian duduk bersama ?” Para Sahabat menjawab, “Kami duduk bersama
untuk berdzikir bersama kepada Allah, memuji-Nya atas segala hidayah dan karunia-Nya
berupa Islam yang diberikan kepada kami.” Rasulullah bertanya lagi, “Demi
Allah, apa yang menyebabkan kalian duduk bersama selain hal tersebut ?”. Para
Sahabat menjawab, “Demi Allah tidak ada tujuan lain kami duduk bersama selain
tujuan itu.“ Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya aku menyumpah kalian bukan
karena berburuk sangka kepada kalian, tapi Malaikat Jibril datang kepadaku
mengabarkan, bahwa Allah membanggakan kalian kepada Para Malaikat.” (HR. Muslim,
At-Turmudzi dan An-Nasa’i)
Dalam hadits
yang lain, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang :
“Sesungguhnya
Allah mempunyai sejumlah malaikat yang berkeliling di muka bumi. Ketika mereka
menemukan suatu majelis dzikir, para malaikat itu terbang ke langit.
Allah bertanya,”Dari
mana kalian ?”
“Kami datang
dari tempat hamba-hamba-Mu yang membaca tasbih, tahmid, takbir dan dzikir
lailaha illallah, meminta dan memohon perlindungan kepada-Mu.”
Allah
bertanya,”Apa yang mereka minta ?”
“Mereka meminta
surga.”
“Apakah mereka
pernah melihat surga?”
“Belum ya
Tuhanku,”
“Bagaimana
seandainya mereka melihatnya ?”
“Pasti mereka
lebih semangat lagi untuk meminta.”
“Dari apa mereka
meminta perlindungan kepada-Ku ?”
“Dari Neraka”
“Apakah mereka
pernah melihatnya ?”
“Belum ya
Tuhanku”
“Bagaimana
seandainya mereka melihatnya ?”
“Pasti mereka
lebih semangat untuk meminta perlindungan-MU”
Kemudian Allah
yang Mulia berfirman, “Saksikan wahai malaikat, bahwa sesungguhnya Aku
mengampuni dosa-dosa mereka, mengabulkan permintaan mereka, dan melindungi dari
apa yang mereka minta perlindungan kepada-Ku.”
“Ya Rabb,
sesungguhnya di tengah-tengah mereka ada sebagian orang yang tidak berniat
untuk dzikir seperti yang lain.”
Allah berfirman,
“Aku juga memaafkan dosa-dosa mereka, semua orang yang duduk di tempat itu
tidak akan merugi.”
Dan masih banyak
lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan dzikir bersama. Inilah
yang kemudian dijadikan landasan para Ulama’ Sufi untuk melakukan tawajjuh dan
dzikir bersama, menurut format dan desain masing-masing.
Di samping
keutamaan sebagaimana penjelasan di atas, tawajjuh bermanfaat untuk mengajak
umat untuk bersama-sama menuju kepada Allah SWT. Umat diajak untuk berdzikir
dan memohon pengampunan Allah SWT atas semua dosa kecil dan besar yang pernah
dilakukan. Sekeras dan sekotor apapun hati seseorang, manakala telah hanyut
dalam lautan dzikir, Asma Allah “menyapa” hati-hati itu, maka lambat-laun akan
menjadi lembut dan bersih. Dzikir bersama dijadikan sebagai starting point
untuk meningkatkan dzikir infirad di tempat masing-masing, sehingga
hari-harinya dipenuhi dengan alunan dzikir mengagungkan Allah dan Rasulullah.
Tawajjuh atau
dzikir bersama ini oleh Para Ulama’ Sufi lewat thariqahnya kemudian dijadikan
sebagai salah satu media dakwah kepada masyarakat. Dakwah yang lemah-lembut,
mengetuk hati dan pikiran, mengelus-elus ruang sukma yang paling dalam, tanpa
menyalahkan dan menyinggung perasaan, terbukti sangat efektif menyadarkan
masyarakat. Inilah salah satu metode dakwah persuasive yang dikembangkan oleh
Para Pendakwah Islam dari kalangan thariqah, sehingga ajaran Islam bisa berkembang
ke berbagai belahan dunia ini.
Metode
dakwah adalah cara mencapai tujuan dakwah, supaya berhasil dalam tujuan yang
diinginkan. Dalam berdakwah membawa pesan ajaran Islam, harus selalu
berpedoman kepada prinsip-prinsip metode dakwah sesuai firman Allah
Swt, dan Hadits Nabi Muhammad Saw. Antara lain :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …….“ (Q.S. An-Nahl 16: 125)
Ayat di atas
memberikan pemahaman bahwa
ada
tiga prinsip umum metode dakwah yaitu ; Metode Hikmah, Metode
Mau’izhah Hasanah dan Metode Mujadalah billati hiya ahsan. Ulama’ memberikan penjelasan terhadap
tiga prinsip metode tersebut, yaitu
:
Pertama, Dakwah
bil Hikmah, adalah penyampaian materi yang berisi perkataan
yang jelas, tepat,
dan tegas,
disertai dengan dalil-dalil kuat yang dapat mempertegas
kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan. Metode hikmah ini dapat
dipergunakan untuk berdakwah kepada
orang-orang dari kalangan
intelektual, berilmu pengetahuan atau berpendidikan tinggi. Dalam
hal ini, para pendakwah harus menyampaikan
materi dakwah dengan keterangan dan alasan disertai
dalil-dalil yang tepat dan sesuai, dan disampaikan dengan
cara bijaksana tanpa kesan menggurui, sehingga dakwah tersebut dapat diterima
dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Metode Mau’izhah Hasanah. Menurut
ulama’, mau’izhah hasanah
adalah memberi peringatan kepada orang lain, dengan berbagai wejangan berisi tentang segala hal yang
berkaitan dengan Pahala, Siksa
dan lain-lain. Mau’izhah tersebut diharapkan mampu
menyadarkan dan menaklukkan
hati orang lain.
Metode
ini dipergunakan untuk berdakwah
kepada orang-orang awam, yaitu orang yang belum dapat berfikir
secara kritis karena
ilmu pengetahuannya masih rendah. Mereka pada umumnya mengikuti sesuatu tanpa
pertimbangan terlebih dahulu,
dan masih berpegang pada adat istiadat yang turun temurun. Kepada mereka ini harus disajikan materi yang
mudah dipahami,
dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana,
sehingga mudah dimengerti.
Ketiga, Metode
Mujadalah billati hiya ahsan. Metode
ini menitikberatkan kepada tukar
fikiran atau diskusi dalam membahas suatu persoalan, dengan cara
sebaik-baiknya. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulumiddin, orang-orang yang melakukan tukar fikiran itu jangan sampai beranggapan, bahwa yang satu sebagai
lawan bagi yang lainnya. Tetapi
mereka harus menganggap,
bahwa para peserta mujadalah atau diskusi itu sebagai kawan yang saling
tolong-menolong dalam mencapai kebenaran.
Metode ini digunakan untuk
menyeru dan mengajak orang-orang yang masuk golongan pertengahan, yaitu orang
yang tidak terlalu tinggi pendidikannya, dan tidak pula terlalu rendah. Mereka
sudah dapat diajak bertukar fikiran secara baik dalam mencari kebenaran, dan tidak terlalu sulit
menerima dakwah yang disampaikan kepada mereka.
Selain itu,
dengan berdasarkan firman Allah SWT di atas, ada tiga golongan yang
dihadapi dengan tiga metode yang dapat digunakan oleh para pendakwah,
yaitu :
a. Golongan cerdik
cendikiawan,
yang cinta kebenaran dan dapat berfikir kritis, cepat dapat menangkap arti
persoalan. Mereka harus dipanggil dengan hikmah, yakni hujjah (argumentasi)
yang dapat diterima dengan kekuatan akal mereka.
b. Golongan awam,
yaitu orang kebanyakan yang
belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap
pengertian-pengertian yang tinggi. Mereka ini diajak dengan mau’izhah hasanah,
yakni penjelasan yang sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami, disertai keteladanan yang baik dari orang
yang berdakwah kepada mereka.
c. Golongan menengah, yang
tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan di atas, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai
pula bila dilayani seperti golongan awam. Golongan ini dihadapi dengan anjuran
dan didikan yang baik,
yaitu dengan ajaran-ajaran yang mereka suka membahasnya. Tetapi di dalam batas
tertentu, mereka tidak sanggup
mengkaji lebih mendalam. Golongan seperti ini diajak dengan mujadalah billati hiya ahsan, yaitu
dengan bertukar-fikiran
dengan cara yang paling baik, guna
mendorongnya supaya berfikir secara sehat, antara
satu
dengan yang lainnya.
Selain metode dakwah sesuai firman Allah Swt dalam Surah An-Nahl
ayat 125 tersebut,
para ulama’ juga menggunakan metode dakwah sesuai
sabda Nabi Muhammad Saw sebagai
berikut :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“ Siapa di antara kalian melihat kemunkaran,
ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak
mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.” [
H.R. Muslim ]
Dari hadis tersebut terdapat tiga cara metode dakwah yaitu :
1.
Metode
dengan tangan (bilyadi)
Tangan
di sini bisa difahami secara tekstual
terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi. Tetapi, tangan juga bisa difahami dengan
kekuasaan atau power, dan metode dengan kekuasaan sangat efektif bila dilakukan
oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
2. Metode dakwah dengan
lisan (bil lisan)
Maksudnya
adalah dengan menggunakan kata-kata yang
lemah lembut, yang dapat dipahami
oleh obyek dakwah, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati. Kata-kata halus yang dibarengi dengan sikap
persuasif, jauh lebih efektif daripada kata-kata kasar yang menyinggung
perasaan obyek dakwah. Hal ini disebabkan tipe mayoritas manusia cenderung
tidak mau disalahkan secara
langsung, mereka lebih
menerima apabila mendapat teguran dengan cara sehalus mungkin.
3. Metode dakwah dengan hati
(bilqolb)
Yang dimaksud dengan
metode dakwah dengan hati, adalah dalam berdakwah hati harus tetap ikhlas, dan tetap
mencintai obyek dakwah dengan tulus. Apabila suatu saat obyek dakwah menolak pesan dakwah yang
disampaikan, mencemooh, mengejek bahkan mungkin memusuhi dan membenci da’i atau
muballigh, maka hati da’i harus tetap sabar, tidak boleh membalas dengan
kebencian. Dalam keadaan seperti apapun,
seorang da’i harus tetap mencintai obyek dakwah, dan dengan ikhlas
hati hendaknya mendo’akan obyek supaya
mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Sayyidil Habib Muhammad
Luthfi Bin Ali Bin Hasyim Bin Yahya menjelaskan, bahwa dakwah harus disampaikan
dengan penuh kasih sayang kepada obyek dakwah, supaya apa yang disampaikan oleh
seorang muballigh dengan mudah masuk ke dalam hati obyek dakwah. Sebaliknya,
kalau dakwah disampaikan dengan berdasarkan kebencian dan kemarahan kepada
obyek dakwah, maka akan sangat sulit diterima oleh obyek dakwah, karena ada
semacam tabir penghalang yang terbentuk akibat nafsu amarah muballigh tersebut.
Alhasil, dakwah lewat tawajjuh ini sangat efektif karena
disampaikan dengan cara persuasif, tidak menyinggung dan menyalahkan, tidak
terkesan menggurui, tapi yang diketuk adalah hati nuraninya, lewat dzikir dan
wejangan-wejangan yang disampaikan secara lemah-lembut.
Dalam acara
tawajjuh Syadziliyyah yang dikembangkan di Bangkalan, RKH. Fakhrillah Aschal
mendesain sedemikian rupa, dengan mengkondisikan suasana khidmah dan khusyuk
mulai awal sampai akhir acara. Dzikir
yang dilakukan secara bersama-sama, terbukti bisa membersihkan hati dan
membeningkan jiwa, apalagi disertai wejangan-wejangan tentang kebersihan hati
dan mengingat mati, membuat jamaah hanyut dalam kekhusyukan merasakan
kenikmatan yang tiada tara. Dalam kondisi hati dan jiwa yang seperti itu,
materi dakwah yang disampaikan akan mudah diterima, diingat, untuk kemudian
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga bersamaan
dengan Ridha Allah SWT, Amin Ya Robbal ‘Alamin…
…………………………………ooo……………………………………
sumber :
RISALAH
SYADZILIYYAH
Menggapai
Untaian Mutiara Hikmah
Edisi II : Rabi’us Tsani 1434 / Maret 2013
No comments:
Post a Comment