Menempuh Jalan
Menuju Allah
Oleh:
Moh.
Yasin Mudassir*
Pada hakikatnya setiap dzikir yang
dilakukan, baik sendirian maupun jamaah (dzikir bersama), adalah sarana
spiritual dalam perjalanan menuju Allah SWT. Dalam konteks ini, dzikir
bersama mempunyai keutamaan karena dilakukan secara bersama-sama dengan
dituntun oleh orang yang lebih memahami jalan menuju Allah itu.
Dzikir
bersama bisa juga sebagai pijakan awal kesadaran seorang manusia dalam menapak
jalan spiritual menuju Allah. Dalam
dunia tasawwuf, perjalanan spiritual manusia menuju Allah SWT itu akan menapaki jenjang
tahapan tahapan sebagai berikut :
1. Tahapan
‘abid
Yaitu orang yang beribadah kepada
Allah SWT. Dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksa
neraka.
2. Tahapan mukhlis
Yaitu orang
yang beribadah hanya semata mata karena Allah SWT. Bukan karena ingin masuk
surga, ataupun selamat dari api neraka.
3. Tahapan muhib
Yaitu orang
yang cinta kepada Allah SWT.
4. Tahapan ’Arif Yaitu orang yang ma’rifat kepada Allah SWT.
Dalam
perjalanan tahap muhib menuju ke tahapan ’Arif, seseorang akan mengalami empat
tahapan tajalli ( kesadaran terdalam setiap individu untuk merasakan keberadaan
kekuasaan Allah SWT. Yang ada didalam hati ) :
1. Tajalli ’Afal
2. Tajalli Sifat
3. Tajalli Asma
4. Tajalli Dzat
Apabila ia
telah sampai pada tahapan tajalli dzat, maka berarti ia tengah berada pada
maqom ’Arifin ( ahli ma’rifat ).
Perjalanan
menuju Allah SWT. Memang membutuhkan waktu yang sangat lama sekali, lebih lebih
bagi hati yang kurang bersih, tergantung kadar serta usaha seseorang dalam
penyucian hatinya. Karena beragamnya kondisi atau watak hati manusia, Imam Ibnu
’Athaillah As-sakandary menggambarkan hati itu seperti ”Tanah” :
1.
Adakalanya
tanah yang digali sedikit saja, sudah bisa keluar mata airnya. Ini adalah
gambaran bagi hati seorang yang bersih. Misalnya, mereka yang membiasakan membaca
Shalawat Syadziliyyah saja sudah nampak (keluar) ilmu ladunninya (ilmu yang
langsung dari Allah SWT secara spontanitas, tanpa belajar).
2.
Adakalanya
tanah yang digali sampai dalam, tapi tetap saja tidak keluar mata airnya,
karena kondisi tanahnya yang tandus, gersang dan berbatu. Hal ini adalah
gambaran hati yang kurang bersih. Misalnya walaupun sudah sering membaca shalawat
Syadziliyyah, bahkan telah di bai’at mengamalkan Thoriqah Syadziliyyah selama
10 tahun atau lebih, akan tetapi belum juga keluar mata airnya (Hikmah), karena
kurang memperhatikan masalah ”hati”.
Tanah yang tandus,
sebagaimana hati kita pada umumnya membutuhkan siraman dan harus diisi dengan
air yang berasal dari sumber mata air yang lain, agar tetap terawat dan subur.
Sebab apabila tidak diisi maka tanah tersebut akan gersang selamanya. Begitu
pula hati orang yang kurang bersih, harus diisi dengan cara mengikuti
pengajian, majlis ta’lim dan siraman rohani lainnya. Apabila tidak demikian,
maka perjalanan menuju Allah SWT. akan sulit, bahkan dapat tersesat. Disinilah
pentingnya peranan seorang Guru Mursyid yang awas mata bathinnya, untuk
membimbing dalam perjalanan spiritual thariqah agar kita tidak tersesat. Dan
berhati hatilah apabila akan mengisi. Carilah sumber air yang bersih, jangan
sampai diisi dengan air yang kotor dan keruh. Begitu pula dalam mengisi hati,
lihatlah dulu siapa yang mengaji dan apa alirannya, jauhilah aliran bid’ah
(ahli bid’ah), sebab itu akan menambah rusaknya hati. Pilihlah aliran yang
mengikuti Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, aliran thariqah mu’tabarah. Juga lihat dulu
kitab apa yang dikajinya, kitab Mujarrobatkah? Atau kitab-kitab kema’rifatan yang
tidak mu’tabar (kitab kitab yang kebenaran ajarannya tidak diakui oleh para
’Ulama), yang menyebabkan perjalanan kita nanti akan tersesat bahkan bisa
membuat gila atau stres.
Ketahuilah, bahwa proses suluk dan wushul
kepada Allah SWT. itu ada ilmunya dan harus dibimbing oleh seorang guru
(mursyid kamil). Seperti yang telah di ungkapkan oleh syekh Abdul wahab Asy
Sya’roni di dalam kitab ”Al ’Uhud Al Muhammadiyyah: ”Barang siapa yang tidak
berguru, maka gurunya adalah syetan”.
Dan syekh Abu Yazid Al Busthomi berkata: ”Barang siapa yang tidak
mempunyai guru maka gurunya adalah syetan”.
Kebanyakan orang yang stres dalam mencari kema’rifatan, disebabkan oleh
tidak adanya guru yang membimbing (Mursyid kamil) atau terkadang punya guru
akan tetapi salah niat. Dalam Kitab Ummu al Barahain karangan Imam Muhammad bin
Yusuf as-Sanusi menyebutkan syarat seorang yang patut sebagai guru kamil yaitu:
Pertama, Orang yang
dikokohkan dengan cahaya mata hati oleh Allah.
Kedua, Hatinya
yang zuhud dari ”dunia”.
Ketiga, Belas
kasih kepada orang miskin.
Keempat, Belas kasih
kepada sesama mukmin yang lemah.
Lima
ajaran dasar dalam Thariqah Syadziliyah, yang menjadi tujuan utama dan
diperhatikan oleh para pengikut thariqah ini antara lain:
Pertama, Taqwa
kepada Allah secara hakikat maupun syari’at.
Kedua, Mengikuti
sunnah Nabi SAW baik dalam ucapan
maupun dalam tindakan.
Ketiga, Jiwa
yang berpaling dari makhluk, baik berkenan dengan makhluk maupun tidak.
Keempat, Ridlo
kepada Allah, baik diberi anugerah maupun banyak.
Kelima, Kembali
kepada Allah, baik dalam suka maupun duka.
Orang yang
menempuh perjalanan menuju Allah SWT akan menghadapi tahapan tahapan nafsu dan
tahapan tahapan maqam. Dalam dunia tasawwuf ada tujuh macam nafsu dengan
berbagai ciri masing masing. Tahapan nafsu yang paling bawah adalah Nafsu
Ammarah Tanda atau perangai (watak kepribadian orang yang bernafsu ini banyak
sekali diantaranya adalah sifat riya’, pemarah, dsb.) Kesemua sifat yang
tercela (al Akhlaq Madzmumah) itu harus diperangi dan diriyadlahi (dilatih).
Dalam istilah
ilmu tasawwuf proses ini dinamakan ”Takhalli”, yaitu merubah sifat sifat
tercela menjadi sifat yang terpuji atau al Akhlaq al Mahmudah. Sehingga yang
asalnya kikir bisa menjadi dermawan, yang riya’ menjadi ikhlas, yang asal
pemarah menjadi penyabar, yang asalnya sombong menjadi tawadlu’.
Kesemuanya itu
dilatih dengan sungguh sungguh untuk dapat meningkat ke tahapan nafsu
selanjutnya yang lebih tinggi yaitu Nafsu Lawwamah.
Begitu pula halnya
sifat sifat nafsu lawwamah yang buruk itu harus dilatih agar menjadi sifat yang
terpuji sehingga meningkat lagi menuju Nafsu Muthma’innah dan begitu seterusnya
sampai ke tingkat Nafsu Radliyah atau Mardliyah.
Masa-masa yang
sangat berat dan berbahaya, adalah ketika seseorang tengah mencapai Nafsu
Mulhimah, sebab ia diberi ”ketersingkapan” (Mukasyafah) oleh Allah SWT.,
sehingga ia diberi kemampuan untuk mengetahui hal hal yang bersifat ghaib,
mengetahui kehendak hati orang lain, serta dapat menyibak sesuatu yang akan
terjadi.
Kesemuanya itu
adalah hal hal yang sangat rahasia dan sangat berbahaya, ia tidak boleh
sembrono bahkan harus meniti diri dengan misalnya ; konsultasi kepada guru
(mursyid kamil), sebab Mukasyafah itu adakalanya:
1.
Yang berasal
dari AllahSWT.
yang disebut
Warid Rabbany.
2.
Yang berasal
dari Malaikat.
yang disebut
Warid Malaki.
3.
Yang berasal
dari Syaiton.
yang disebut
Warid Syaithani.
4.
Yang berasal
dari Jin.
yang disebut
Warid Jinny.
5.
Yang berasal
dari Nafsu.
yang disebut
Warid Nafsu.
Dikatakan
bahaya karena orang yang pada tahap Nafsu Mulhimmah itu belum bisa membedakan antara warid – warid yang datang,
apakah itu Warid Rabbany, Malaki, Syaithani, Jinni, atau Nafsy. Sehingga orang
tersebut tidak diperbolehkan untuk menggunakan Warid yang diberikan kepadanya
sebelum dicocokkan dengan syari’at ( Al Qur’an dan Al Hadits ).
Dalam
perjalanan menuju Allah, dibandingkan orang yang jarang atau tidak pernah
susah, orang yang diliputi kegelisahan
itu lebih cepat sampai pada tujuan, yaitu wushul ilallah. Sebab, secara psikis, kesusahan itu akan
menjadi suatu pendorong yang memungkinkan seseorang untuk lebih memacu dirinya
dan lebih bersemangat, melebihi jauh umumnya manusia, dalam menempuh suatu
perjalanan.
Jika
diukur, seperti ilustrasi diatas, orang yang sedih memerlukan waktu satu bulan
untuk menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Sedangkan orang yang tiada diliputi
susah membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Misalnya,
dua orang yang sama berangkat ke Surabaya dengan jalan kaki, yang satu dalam
kondisinya yang gelisah dan susah karena mendengar kabar Ibunya meninggal,
sedang yang lain tidak. Dapat dibuktikan, tentu orang pertama yang dalam
kegelisahan dan susah akan tiba lebih awal. Karena kondisi hatinya yang
demikian ( bayangan dalam hatinya hanya ada rumah dan ingin segera melihat
ibunya yang terakhir kali ) akan memacu dirinya untuk berjalan lebih cepat
sampai, dan membuat ia tak sempat menikmati pemandangan di kanan kirinya,
berhenti atau mampir. Berbeda dengan orang yang tidak dalam kesedihan orang
pertama, ia akan berjalan semaunya dengan biasa dan santai, sebab tidak ada
sesuatu yang memaksa dan mendorong dirinya untuk tiba lebih cepat di Surabaya.
Begitu
juga perjalanan menuju Allah SWT. Kegelisahan yang tumbuh dari kesadaran akan
kekurangan diri, akan mampu menjadi pendorong dan ”pecut” yang memacu langkah
mengejar ketertinggalan, pada akhirnya akan sampai tujuan yang diharapkan, dan
inilah hakikat penyesalan.
Dalam
Kitab syarah Al Hikam di sebutkan, bahwa: ”Rabi’ah Al Adawiyyah, seorang sufi
wanita yang terkenal, mendengar ada seorang pria berkata: ”Alangkah sedihnya
diriku” . Rabi’ah berkata ; ” Jangan berkata begitu, tetapi katakanlah
”Alangkah sedikitnya rasa sedihku”. Karena, Jika memang engkau benar-benar
sedih, itu berarti engkau sama sekali tidak punya kesempatan untuk bersenang
senang” (padahal engkau masih bisa
tertawa setiap hari ).
Kesedihan
yang dimaksud disini adalah kesedihan yang ditimbulkan karena keteledoran dalam
beribadah, bukan memikirkan masalah duniawi, karena Allah SWT. telah menentukan
dan mencukupi rizki manusia.
Susah
karena dunia artinya, susah memikirkan betapa sulitnya mendapatkan harta dunia,
dimana dengan kesulitan itu diberi imbalan oleh Allah SWT, berupa dileburnya
dosa. Sebab ada dosa-dosa yang tidak bisa dilebur dengan amal apapun, kecuali
dengan susah dan jerih payah dalam mencari nafkah untuk keluarga, dengan
catatan adanya keikhlasan di dalam hati.
Jadi,
intinya adalah kita semua dingatkan agar selalu :
1.
Merasa susah,
sedih dan menyesal apabila sampai tertinggal ( teledor ) dalamIbadah.
2.
Bersemangat
untuk menutup (mengqadla’) ibadah yang telah ditinggalkan.
3.
Memohon kepada
Allah SWT., supaya diberi semangat beribadah, sebab apapun dan bagaimanapun
usaha dan niat kita apabila tidak diberi Allah SWT, maka hal itu tidak akan
pernah terjadi.
***
*Adalah murid Syadziliyyah, Jl.
Panglima Sudirman II No. 40 Bangkalan
No comments:
Post a Comment