Saturday, 4 January 2014

Menempuh Jalan Menuju Allah



Menempuh Jalan Menuju Allah
Oleh: Moh. Yasin Mudassir*

Pada hakikatnya setiap dzikir yang dilakukan, baik sendirian maupun jamaah (dzikir bersama), adalah sarana spiritual dalam perjalanan menuju Allah SWT. Dalam konteks ini, dzikir bersama mempunyai keutamaan karena dilakukan secara bersama-sama dengan dituntun oleh orang yang lebih memahami jalan menuju Allah itu.
Dzikir bersama bisa juga sebagai pijakan awal kesadaran seorang manusia dalam menapak jalan spiritual menuju Allah. Dalam dunia tasawwuf, perjalanan spiritual manusia menuju Allah SWT itu akan menapaki jenjang tahapan tahapan sebagai berikut :
1.      Tahapan ‘abid
Yaitu orang yang beribadah kepada Allah SWT. Dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksa neraka.
2.      Tahapan mukhlis
Yaitu orang yang beribadah hanya semata mata karena Allah SWT. Bukan karena ingin masuk surga, ataupun selamat dari api neraka.
3.      Tahapan muhib
Yaitu orang yang cinta kepada Allah SWT.
4.      Tahapan ’Arif Yaitu orang yang ma’rifat kepada Allah SWT.
Dalam perjalanan tahap muhib menuju ke tahapan ’Arif, seseorang akan mengalami empat tahapan tajalli ( kesadaran terdalam setiap individu untuk merasakan keberadaan kekuasaan Allah SWT. Yang ada didalam hati ) :
1.      Tajalli ’Afal
2.      Tajalli Sifat
3.      Tajalli Asma
4.      Tajalli Dzat
Apabila ia telah sampai pada tahapan tajalli dzat, maka berarti ia tengah berada pada maqom ’Arifin ( ahli ma’rifat ).
Perjalanan menuju Allah SWT. Memang membutuhkan waktu yang sangat lama sekali, lebih lebih bagi hati yang kurang bersih, tergantung kadar serta usaha seseorang dalam penyucian hatinya. Karena beragamnya kondisi atau watak hati manusia, Imam Ibnu ’Athaillah As-sakandary menggambarkan hati itu seperti ”Tanah” :
1.                  Adakalanya tanah yang digali sedikit saja, sudah bisa keluar mata airnya. Ini adalah gambaran bagi hati seorang yang bersih. Misalnya, mereka yang membiasakan membaca Shalawat Syadziliyyah saja sudah nampak (keluar) ilmu ladunninya (ilmu yang langsung dari Allah SWT secara spontanitas, tanpa belajar).
2.                  Adakalanya tanah yang digali sampai dalam, tapi tetap saja tidak keluar mata airnya, karena kondisi tanahnya yang tandus, gersang dan berbatu. Hal ini adalah gambaran hati yang kurang bersih. Misalnya walaupun sudah sering membaca shalawat Syadziliyyah, bahkan telah di bai’at mengamalkan Thoriqah Syadziliyyah selama 10 tahun atau lebih, akan tetapi belum juga keluar mata airnya (Hikmah), karena kurang memperhatikan masalah ”hati”.
Tanah yang tandus, sebagaimana hati kita pada umumnya membutuhkan siraman dan harus diisi dengan air yang berasal dari sumber mata air yang lain, agar tetap terawat dan subur. Sebab apabila tidak diisi maka tanah tersebut akan gersang selamanya. Begitu pula hati orang yang kurang bersih, harus diisi dengan cara mengikuti pengajian, majlis ta’lim dan siraman rohani lainnya. Apabila tidak demikian, maka perjalanan menuju Allah SWT. akan sulit, bahkan dapat tersesat. Disinilah pentingnya peranan seorang Guru Mursyid yang awas mata bathinnya, untuk membimbing dalam perjalanan spiritual thariqah agar kita tidak tersesat. Dan berhati hatilah apabila akan mengisi. Carilah sumber air yang bersih, jangan sampai diisi dengan air yang kotor dan keruh. Begitu pula dalam mengisi hati, lihatlah dulu siapa yang mengaji dan apa alirannya, jauhilah aliran bid’ah (ahli bid’ah), sebab itu akan menambah rusaknya hati. Pilihlah aliran yang mengikuti Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, aliran thariqah mu’tabarah. Juga lihat dulu kitab apa yang dikajinya, kitab Mujarrobatkah? Atau kitab-kitab kema’rifatan yang tidak mu’tabar (kitab kitab yang kebenaran ajarannya tidak diakui oleh para ’Ulama), yang menyebabkan perjalanan kita nanti akan tersesat bahkan bisa membuat gila atau stres.
 Ketahuilah, bahwa proses suluk dan wushul kepada Allah SWT. itu ada ilmunya dan harus dibimbing oleh seorang guru (mursyid kamil). Seperti yang telah di ungkapkan oleh syekh Abdul wahab Asy Sya’roni di dalam kitab ”Al ’Uhud Al Muhammadiyyah: ”Barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya adalah syetan”.  Dan syekh Abu Yazid Al Busthomi berkata: ”Barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syetan”.  Kebanyakan orang yang stres dalam mencari kema’rifatan, disebabkan oleh tidak adanya guru yang membimbing (Mursyid kamil) atau terkadang punya guru akan tetapi salah niat. Dalam Kitab Ummu al Barahain karangan Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi menyebutkan syarat seorang yang patut sebagai guru kamil yaitu:
Pertama,         Orang yang dikokohkan dengan cahaya mata hati oleh Allah.
Kedua,            Hatinya yang zuhud dari ”dunia”.
Ketiga,            Belas kasih kepada orang miskin.
Keempat,        Belas kasih kepada sesama mukmin yang lemah.
            Lima ajaran dasar dalam Thariqah Syadziliyah, yang menjadi tujuan utama dan diperhatikan oleh para pengikut thariqah ini antara lain:
Pertama,         Taqwa kepada Allah secara hakikat maupun syari’at.
Kedua,            Mengikuti sunnah Nabi SAW baik dalam   ucapan maupun dalam tindakan.
Ketiga,            Jiwa yang berpaling dari makhluk, baik berkenan dengan makhluk maupun tidak.
Keempat,        Ridlo kepada Allah, baik diberi anugerah maupun banyak.
Kelima,            Kembali kepada Allah, baik dalam suka maupun duka.
Orang yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT akan menghadapi tahapan tahapan nafsu dan tahapan tahapan maqam. Dalam dunia tasawwuf ada tujuh macam nafsu dengan berbagai ciri masing masing. Tahapan nafsu yang paling bawah adalah Nafsu Ammarah Tanda atau perangai (watak kepribadian orang yang bernafsu ini banyak sekali diantaranya adalah sifat riya’, pemarah, dsb.) Kesemua sifat yang tercela (al Akhlaq Madzmumah) itu harus diperangi dan diriyadlahi (dilatih).
Dalam istilah ilmu tasawwuf proses ini dinamakan ”Takhalli”, yaitu merubah sifat sifat tercela menjadi sifat yang terpuji atau al Akhlaq al Mahmudah. Sehingga yang asalnya kikir bisa menjadi dermawan, yang riya’ menjadi ikhlas, yang asal pemarah menjadi penyabar, yang asalnya sombong menjadi tawadlu’.
Kesemuanya itu dilatih dengan sungguh sungguh untuk dapat meningkat ke tahapan nafsu selanjutnya yang lebih tinggi yaitu Nafsu Lawwamah.
Begitu pula halnya sifat sifat nafsu lawwamah yang buruk itu harus dilatih agar menjadi sifat yang terpuji sehingga meningkat lagi menuju Nafsu Muthma’innah dan begitu seterusnya sampai ke tingkat Nafsu Radliyah atau Mardliyah.
Masa-masa yang sangat berat dan berbahaya, adalah ketika seseorang tengah mencapai Nafsu Mulhimah, sebab ia diberi ”ketersingkapan” (Mukasyafah) oleh Allah SWT., sehingga ia diberi kemampuan untuk mengetahui hal hal yang bersifat ghaib, mengetahui kehendak hati orang lain, serta dapat menyibak sesuatu yang akan terjadi.
Kesemuanya itu adalah hal hal yang sangat rahasia dan sangat berbahaya, ia tidak boleh sembrono bahkan harus meniti diri dengan misalnya ; konsultasi kepada guru (mursyid kamil), sebab Mukasyafah itu adakalanya:
1.                  Yang berasal dari AllahSWT.
yang disebut Warid Rabbany.
2.                  Yang berasal dari Malaikat.
yang disebut Warid Malaki.
3.                  Yang berasal dari Syaiton.
yang disebut Warid Syaithani.
4.                  Yang berasal dari Jin.
yang disebut Warid Jinny.
5.                  Yang berasal dari Nafsu.
yang disebut Warid Nafsu.
            Dikatakan bahaya karena orang yang pada tahap Nafsu Mulhimmah itu belum bisa  membedakan antara warid – warid yang datang, apakah itu Warid Rabbany, Malaki, Syaithani, Jinni, atau Nafsy. Sehingga orang tersebut tidak diperbolehkan untuk menggunakan Warid yang diberikan kepadanya sebelum dicocokkan dengan syari’at ( Al Qur’an dan Al Hadits ).
            Dalam perjalanan menuju Allah, dibandingkan orang yang jarang atau tidak pernah susah, orang yang diliputi kegelisahan  itu lebih cepat sampai pada tujuan, yaitu wushul ilallah.  Sebab, secara psikis, kesusahan itu akan menjadi suatu pendorong yang memungkinkan seseorang untuk lebih memacu dirinya dan lebih bersemangat, melebihi jauh umumnya manusia, dalam menempuh suatu perjalanan.
            Jika diukur, seperti ilustrasi diatas, orang yang sedih memerlukan waktu satu bulan untuk menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Sedangkan orang yang tiada diliputi susah membutuhkan waktu bertahun-tahun.
            Misalnya, dua orang yang sama berangkat ke Surabaya dengan jalan kaki, yang satu dalam kondisinya yang gelisah dan susah karena mendengar kabar Ibunya meninggal, sedang yang lain tidak. Dapat dibuktikan, tentu orang pertama yang dalam kegelisahan dan susah akan tiba lebih awal. Karena kondisi hatinya yang demikian ( bayangan dalam hatinya hanya ada rumah dan ingin segera melihat ibunya yang terakhir kali ) akan memacu dirinya untuk berjalan lebih cepat sampai, dan membuat ia tak sempat menikmati pemandangan di kanan kirinya, berhenti atau mampir. Berbeda dengan orang yang tidak dalam kesedihan orang pertama, ia akan berjalan semaunya dengan biasa dan santai, sebab tidak ada sesuatu yang memaksa dan mendorong dirinya untuk tiba lebih cepat di Surabaya.
            Begitu juga perjalanan menuju Allah SWT. Kegelisahan yang tumbuh dari kesadaran akan kekurangan diri, akan mampu menjadi pendorong dan ”pecut” yang memacu langkah mengejar ketertinggalan, pada akhirnya akan sampai tujuan yang diharapkan, dan inilah hakikat penyesalan.
            Dalam Kitab syarah Al Hikam di sebutkan, bahwa: ”Rabi’ah Al Adawiyyah, seorang sufi wanita yang terkenal, mendengar ada seorang pria berkata: ”Alangkah sedihnya diriku” . Rabi’ah berkata ; ” Jangan berkata begitu, tetapi katakanlah ”Alangkah sedikitnya rasa sedihku”. Karena, Jika memang engkau benar-benar sedih, itu berarti engkau sama sekali tidak punya kesempatan untuk bersenang senang”  (padahal engkau masih bisa tertawa setiap hari ).
            Kesedihan yang dimaksud disini adalah kesedihan yang ditimbulkan karena keteledoran dalam beribadah, bukan memikirkan masalah duniawi, karena Allah SWT. telah menentukan dan mencukupi rizki manusia.
            Susah karena dunia artinya, susah memikirkan betapa sulitnya mendapatkan harta dunia, dimana dengan kesulitan itu diberi imbalan oleh Allah SWT, berupa dileburnya dosa. Sebab ada dosa-dosa yang tidak bisa dilebur dengan amal apapun, kecuali dengan susah dan jerih payah dalam mencari nafkah untuk keluarga, dengan catatan adanya keikhlasan di dalam hati.
            Jadi, intinya adalah kita semua dingatkan agar selalu :
1.                  Merasa susah, sedih dan menyesal apabila sampai tertinggal ( teledor ) dalamIbadah.
2.                  Bersemangat untuk menutup (mengqadla’) ibadah yang telah ditinggalkan.
3.                  Memohon kepada Allah SWT., supaya diberi semangat beribadah, sebab apapun dan bagaimanapun usaha dan niat kita apabila tidak diberi Allah SWT, maka hal itu tidak akan pernah terjadi.

***
           
*Adalah murid Syadziliyyah, Jl. Panglima Sudirman  II No. 40 Bangkalan

No comments:

Post a Comment

Charly setia band nyantri di pp syaichona cholil

https://youtu.be/2ELP8ewuNHc https://youtu.be/2ELP8ewuNHc