MUHASABAH
Oleh : RKH.
Fakhrillah Aschal
pengasuh pp syaichona cholil
Bangkalan Madura
Seorang
sufi setiap saat dan setiap waktu haruslah senantiasa mencurahkan dan
mengarahkan perhatiannya terhadap dirinya sendiri dalam waktu apapun dan dalam
melakukan apapun. Ia harus selalu waspada memandang diri sendiri dalam
gerak-geriknya, baik jasmani maupun gerak-gerik ruhaninya.
Orang-orang sufi yang senantiasa melakukan koreksi
diri atau mengontrol dirinya, akan selalu tampak perbuatan apa yang dilakukannya,
sehingga ia tidak berani melakukan suatu perbuatan dosa sekecil apapun. Ia
merasa bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Sang Qadli Yang Maha Agung.
Seorang hamba yang selalu mengontrol perbuataanya
sendiri, maka akan terhindar dari kesesatan, serta tiada kesempatan baginya
untuk melihat cela orang lain, karena dia sibuk mengontrol dirinya sendiri. Dia
menjadi hamba yang beruntung, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ
عُيُوْبِ النَّاسِ
Artinya: “Beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya sendiri, sehingga
tidak sempat memperhatikan aib orang lain”
Orang
yang selalu berfikir tentang keberadaan dirinya, mengontrol segala kesalahanya,
dan mengawasi segala gerak-geriknya, menandakan dia jernih hati dan fikirannya.
Bahkan Rasulullah SAW menggolongkannya sebagai orang yang pintar, sebagaimana
sabda Beliau :
اَلْكَيِسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبِعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى
عَلَى اللهِ
Artinya: “Orang yang pintar ialah orang yang selalu mengoreksi dirinya
sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati, dan orang yang lemah ialah orang
yang selalu menurutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah” (HR. Turmudzi)
Kontrol terhadap dirinya sendiri harus terus-menerus dilakukan setiap
saat dan setiap waktu. Sebab sekali saja lengah, saat itu pula dipergunakan
oleh Syetan untuk menjerumuskannya ke dalam jurang kejahatan.
Sorang sufi harus senantiasa berusaha mengoreksi segala apa yang tersembunyi
dalam hatinya dari berbagai cela dan kekurangannya. Hal ini lebih baik daripada
mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain, sebagaimana dikatakan oleh
Syekh Athaillah Assakandary dalam kitab Al-Hikam :
تَشَوُّفُكَ اِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ
الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوِّفِكَ اِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ
Artinya: “Usahamu untuk mengetahui apa yang tersimpan dalam dirimu dari
berbagai macam cela itu lebih baik daripada usahamu kepada apa yang terhalang
darimu dari berbagai macam perkara yang ghaib”
Dalam pribahasa disebutkan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, semut
di seberang lautan tampak kelihatan. Inilah ungkapan yang menerangkan watak
manusia yang suka melihat dan meneliti kesalahan orang lain sekecil apapun,
akan tetapi lupa akan sengaja melupakan diri terhadap kesalahan diri sendiri.
Bagi seorang sufi tidak diperkenankan melakukan perbuatan semacam itu,
karena sangat dilarang oleh Allah, sebagaimana Firman-Nya :
يَاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
اِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا اَيُحِبُّ
اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوا
اللهَ اِنَّ الله تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang “ (QS. Al-Hujuraat :12).
Orang
yang selalu berfikir tentang keberadaan dirinya, mengontrol segala kesalahanya,
dan mengawasi segala gerak-geriknya, menandakan dia jernih hati dan fikirannya.
Bahkan Rasulullah SAW menggolongkannya sebagai orang yang pintar, sebagaimana
sabda Beliau :
اَلْكَيِسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبِعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى
عَلَى اللهِ
‘”Orang yang pandai adalah orang yang
menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah
kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa
nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”. (Imam Turmudzi) berkata, ‘Hadits ini adalah
hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW ( دان نفسه
) adalah ( حاسب نفسه
في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang
menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dan
diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra beliau berkata, ‘hisablah (evaluasilah)
diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk
hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan
pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia. Dan diriwayatkan
pula dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seoarng hamba tidak dikatakan
bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari
mana makanan dan pakaiannya.
Gambaran
Umum Hadits
Hadits
di atas menggambarkan mengenai urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam
menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian
dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rabb-nya.
Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi
(ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan
evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan
oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah SAW
mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan ( الكيس
), sedangkan kegagalan ( العاجز ) dikaitkan
dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi
Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits
di atas dibuka Rasulullah SAW dengan sabdanya, ( الكيس
من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ) ‘oarng yang
pandai (sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk
kehidupan setelah kematiannya.’
Ungkapan
sederhana di atas sungguh menggambarkan tentang sebuah visi yang harus dimiliki
seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia,
yaitu visi hingga pada kehidupan setalah kematian. Seorang muslim tidak
seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan
untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki
visi & planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi.
Karena
orang yang sukses adalah orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi
keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah orang yang ‘rela’
mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian
kehidupan ukhrawi.’
Dalam
Al-Qur’an, Allah SWT seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi
besar ini, diantaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr/ 59 : 18 – 19
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang
yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga;
penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.”
Muhasabah
atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai
kunci pertama dari kesuksesan ( الكيس
). Karena sekali lagi, orang yang sukses akan selalu mengevaluasi dari kinerja
pribadi yang telah dilakukannya.
Selain
itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, setelah evaluasi
harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dengan
sabdanya dalam hadits di atas dengan ( وعمل لما
بعد الموت )’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan
hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah SAW langsung setelah penjelasan
tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa
adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat
hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan
Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang yang
pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan
jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan
untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara
banyak sekali pribadi-pribadi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya
lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain. Di sinilah
perbedaan mendasar evaluasi Islami dengan evaluasi non Islami. Evaluasi Islam
adalah mengevaluasi demi perbaikan diri dan agar mendapatkan cinta Allah SWT.
Maka konsekewnsinya adalah, beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sementara
evaluasi non Islami, evaluasinya dilakukan agar dinilai baik oleh pihak lain.
Sementara
kebalikan dari hal tersebut yaitu kegagalan, yang disebut oleh Rasulullah SAW
dengan ( العاجز ) ‘orang yang
lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu yang pertama adalah orang yang
mengikuti hawa nafsunya (من اتبع نفسه هواه ). Sedangkan
yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ( وتمنى على الله ) berangan-angan terhadap Allah.’
Maksud
berangan-angan terhadap Allah SWT adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut : Dia (orang yang
lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti
hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu
berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi
Muhasabah
Imam
Turmudzi setelah meriwayatkan hadits diatas, juga meriwayatkan ungkapan Umar
bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1.
Mengenai muhasabah, Umar ra mengemukakan :
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab
itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi)
dirinya di dunia.
Sebagai
sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari
evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan
bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul
akhir kelak. Umar faham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan
agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah SWT.
2.
Sementara Maimun bin Mihran ra mengatakan :
‘Seorang
hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana
dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun
bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun
117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan
muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga
menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri
orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan
orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha
Ilahi.
3.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir
akan datang menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung
jawabkan segala amal perbuatannya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an : “Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” (QS. Maryam/ 19 : 95)
Setiap
manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas segala amal perbuatan yang telah
dilakukannya secara sendiri-sendiri. Dan seringkali manusia melupakan hal ini,
sementara semakin hari semakin dekat antara dirinya dengan hisab tersebut.
Allah SWT berfirman : “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan
mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”
(QS. Al-Anbiya’/ 21 : 1).
Aspek-Aspek
Yang Perlu Dimuhasabahi (Dievaluasi)
Terdapat
beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi
orang yang pandai & sukses ( الكيس
) sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, diantaranya
yaitu :
1.
Aspek Ibadah ( الجانب التبعدي )
Pertama
kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah
merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS.
51 : 56). Artinya ibadah merupakan tugas & pekerjaan utama manusia dalam
menjalani kehidupannya.
Oleh
karenanya, sepatutnya aspek ibadah menjadi perhatian utama evaluasi bagi
manusia. Evaluasi aspek ibadah ini, mencakup dua hal ; ibadah yang wajib dan
ibadah yang sunnah.
a.
Ibadah wajib.
Ibadah
wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap muslim.
Minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam; shalat, puasa,
zakat dan juga haji. shalat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan
perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allah SWT pada hari akhir ; “Sesungguhnya
yang pertama kali akan dihisab dari seroang hamba adalah shalatnya. Jika
shalatnya baik, maka sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya
fasad (rusak/ cacat) maka sungguh ia akan menyesal dan merugi.” (HR. Nasa’i)
Dalam
hadits lain tentang muflis (orang yang bangkrut), dikatakan oleh Rasulullah SAW
bahwa orang yang muflis didatangkan ke hadapan Allah SWT dengan amalan shalat,
puasa dan zakat, namun juga membawa ‘dosa’ suka mencela, menuduh, memukul,
memakan harta orang lain dan lain sebagainya.
“Orang
yang bangkrut dari umatku di hari kiamat adalah orang yang datang dengan
(pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa)
mencela kehormatan orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain dan
memukul orang lain.”(HR. Muslim)
Hadits
di atas menggambarkan bahwa pada hari akhir kelak, yang pertama kali dimintai
pertanggung jawaban adalah ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu, seperti
shalat, puasa dan zakat. Baru kemudian setelah itu amaliyah-amaliyah yang lain.
Belum lagi hadits-hadits lain yang menggambarkan tentang urgensi ibadah-ibadah
fardhu.
Kaitannya
dengan muhasabah, bahwa setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal
ibadah fardhunya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan,
pemberian dampaknya dalam kehidupan, istiqamahnya, dan lain-lain. Peningkatan
tersebut harus didasarkan pada evaluasi dirinya atas ibadah fardhu yang telah
dilakukannya. Apa kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaannya. Apa pula
faktor-faktor yang selama ini dapat meningkatkan kualitas ibadah tersebut, dan
seterusnya.
Pada
intinya perlu dijaga, agar jangan sampai amaliyah ibadah fardhu ini menjadi
berkurang dan memiliki cacat dalam pelaksanaannya. Karena cacatnya amaliyah ini,
akan berdampak pada cacatnya amaliyah lainnya. Sehingga peningkatan pada aspek
ini sangat mutlak diperlukan.
b.
Ibadah sunnah
Ibadah
sunnah juga tidak kalah pentingnya dengan ibadah fardhu. Karena ibadah sunnah
akan menjadi penyempurna bagi ibadah fardu. Bahkan ulama mengatakan bahwa salah
satu indikasi kesempurnaan keimanan seorang mu’min adalah kelanggengannya dalam
melaksanakan ibadah sunnah.
Rasulullah
SAW sendiri memberikan porsi dalam aspek ini dengan begitu besarnya. Perhatikan
saja sebagaimana yang diakatakan Sayyidatuna Aisyah RA, bahwa beliau SAW shalat
malam hingga kedua kaki Beliau bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian
bagaimana beliau berpuasa sunnah, dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, infak
shadaqah, berbuat ihsan, dan sebaginya. Kesemuanya menggambarkan betapa aspek
ini sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan juga para sahabatnya.
Evaluasi
dalam ibadah sunnah sangat penting, karena terkadang karena sifatnya yang hanya
‘sunnah’, seringkali pelaksanaannya terabaikan. Sementara urgensi ibadah sunnah
ini sangat signifikan dalam peningkatan ketakwaan dan ketaqarruban seseorang
kepada Allah SWT serta dalam menjaga keistiqamahan. Dalam sebuah riwayat,
Rasulullah SAW pernah bersabda:
‘Segeralah
melakukan amal shaleh, sebab akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang
sangat gulita. Ketika itu seseorang beriman pada pagi hari, sementara pada sore
harinya ia kufur kepada Allah SWT. Dan pada sore hari seseorang beriman,
sementara pagi harinya ia kufur kepada Allah SWT. Ia menukar agamanya demi
sedikit keuntungan duniawi.” (HR. Muslim).
Secara
tersurat hadits ini menggambarkan mengenai sifat dari amal shaleh (yang unsur
terpentingnya adalah ibadah sunnah), akan menjaga keimanan, terhindar dari
fitnah serta menjaga keistiqamahan. Karena tantangan dan fitnah di ‘luar’
demikian besarnya. Sesuatu yang haq, bisa diputarbalikkan menjadi seolah-olah
bathil, demikian juga sebaliknya.
Dari
sini tampak jelas, urgensitas dari ibadah sunnah tersebut. Karena ‘cacatnya’
perhatian pada ibadah sunnah, akan berakibat pada hilangnya ‘kestabilan’ iman,
mudah terperdaya dengan fitnah, bahkan terseret pada jurang kehinaan
(na’udzubillah min dzalik).
Sektor
terpenting dari ibadah sunnah yang perlu dievaluasi diantaranya adalah pada
aspek qiyamul lail, shalat dhuha, shaum sunnah, tilawatul qur’an, dzikrullah, Shalawat,
infaq shadaqah, dzikrul maut, dan lain sebagainya. Sedangkan bentuk evaluasinya
sama sebagaimana evaluasi pada ibadah ibadah fardhu.
2.
Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب
العملي والتكسبي )
Aspek
kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditidakpedulikan
oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini
adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara
dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi
Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam
pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya
& kemana dibelanjakannya & ilmunya sejauh mana pengamalannya?’ (HR. Turmudzi)
Hadits
di atas menggambarkan tentang akibat dari melalaikan unsur perolehan harta.
Bahwa seseorang tidak akan bergerak kedua tapak kakinya di akhirat kelak,
hingga ia ditanya tengan 5 hal, diantaranya tentang sumber penghasilannya.
Senada dengan hadits tersebut, Allah SWT sesungguhnya telah mewanti-wanti agar
jangan sampai seseorang memakan atau mencari harta dengan cara yang bathil: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.
Annisa/ 4 : 29)
Imam
As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara bathil, beliau
menafsirkannya dengan ( بطريق غير
مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan
syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk
usaha, yang substansi pekerjaannya, cara pelaksanaannya, mekanismenya dan
sistemnya tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah bathil.
Pada
intinya, semua pekerjaan dan sumber penghasilan yang telah didapatkannya, harus
dievaluasi kembali. Apakah semuanya sudah jelas kehalalannya? Ataukah masih
terdapat hal-hal yang berbau syubhat dan keharaman? Jika dalam evaluasi
terdapat satu sumber penghasilan yang mengandung keharaman, maka harus segera
ditinggalkan, kendatipun besarnya penghasilan dari aspek tersebut.
3. Aspek Kehidupan Sosial
Keislaman
(
الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Aspek
yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam
arti hubungan pergaulan, akhlak dan
adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting,
sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian siapakah
orang yang bangkrut itu?” Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami
adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.” Rasulullah
SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada
hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang
dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi)
orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan
dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu
dia pun dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Melalaikan
aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah
SAW dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah
yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat
dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap
orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya,
mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi
keburukannya.
Bahkan
karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka
dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya.
Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak
memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh
karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita
bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan
teman kerja, berakhlak di jalan raya, dan lain sebagainya? Jika terdapat aib
atau cacat di sana, maka perbaikilah.
4.
Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Aspek
ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam
segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu
sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan
masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada Ilahi,
banyak istighfar dan taubat dan lain-lain.
Tetapi
yang cukup urgens dan sangat substansial pada muhasabah aspek da’wah ini yang
perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi
maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian
lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya
yang sangat substansial, yaitu da’wah itu sendiri.
Muhasabah
pada bidang da’wah ini jika dibreakdown dalam setiap sektor, juga akan menjadi
lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi,
evaluasi da’wah dalam bidang da’wah ‘ammah, evaluasi da’wah dalam bidang
siyasi, dan seterusnya.
Pada
intinya, da’wah harus dievaluasi, agar harakah da’wah tidak hanya menjadi
simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai
da’wah itu sendiri. Mudah–mudahan ayat di bawah ini menjadi bahan evaluasi bagi
da’wah yang sama-sama kita lakukan : “Katakanlah: "Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
(QS. Yusuf/ 12 : 108)
Waktu
Muhasabah
Muhasabah
(evaluasi diri) dapat dilakukan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, tri
wulan, semeseter, tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, dua puluh tahunan,
dua puluh lima tahunan, dan seterusnya tergantung kebutuhan. Yang terbaik
adalah evaluasi dalam segala kesempatan dimana kita dapat mengevaluasi.
Imam
Syahid Hasan Al-Banna menyarankan agar kita mengevaluasi secara harian terhadap
amal ibadah yang dilakukan secara harian pula. Karena diantara hikmahnya, agar
setiap amal harian kita terstruktur dengan baik dan agar keesokan harinya kita
bisa beramal lebih baik dari yang diamalkan hari ini atau hari kemarin. Namun
evaluasi harian saja tidak akan cukup, tanpa adanya evaluasi mingguan. Evaluasi
mingguanpun tidak akan sempurna tanpa evaluasi bulanan. Dan evaluasi bulanan
juga tidak akan berarti banyak tanpa evaluasi tahunan, dan seterusnya.
Muhasabah akan menentukan kembali arah yang akan dituju. Muhasabah juga akan
membentuk seperti apa kita akan menjadikan diri kita. Dan muhasabah juga akan
menjadikan format hidup kita lebih teratur dan pastinya lebih baik.
Penutup
Alhasil, setelah
kita melakukan muhasabah ternyata sangat sedikit waktu kita untuk beribadah
kepada Allah SWT, dibandingkan dengan umur dan karunia-Nya yang diberikan
setiap saat dan setiap waktu.
Contoh
gampangnya adalah shalat yang kita lakukan. Kita shalat lima waktu, jika satu
waktu itu dihitung 5 menit, berarti sehari semalam hanya 25 menit. Dalam satu
bulan (25 menit x 30 hari) berarti 750 menit atau 12,5 jam. Dalam satu bulan
kta hanya membutuhkan waktu 12,5 jam atau setengah hari untuk melaksanakan
shalat. Dalam satu tahun ada 12 bulan, berarti waktu shalat kita dalam 1 tahun
adalah ½ (hari) x 12 (bulan) = 6 hari. Dalam setahun kita hanya membutuhkan
waktu 6 hari untuk shalat. Jumlah hari dalam 1 tahun adalah 365 hari. Jika
dikurangi 6 hari yang kita habiskan untuk shalat, sisanya adalah 359 hari. Jadi
dalam setahun waktu yang tidak terpakai shalat 359 hari.
Kalau kita
berumur 60 tahun, jumlah waktu yang kita gunakan untuk shalat adalah 60 tahun
(usia kita) dikurangi 15 tahun masa sebelum aqil baligh = 45 tahun. Ini berarti
yang dihitung 6 hari (total waktu shalat satu tahun) x 45 (jumlah usia) = 270
hari. Jadi orang yang umurnya 60 tahun, waktu yang dihabiskan untuk shalat
hanya 270 hari. Dari 60 tahun (21900 hari), kewajiban shalat hanya 270 hari,
berarti 21900 dikurangi 270 hari = 21630 hari (yang tidak digunakan untuk
shalat). Itulah shalat yang temporal dibalas oleh Allah dengan rahmat dan
surge-Nya yang tak dapat diukur dengan waktu, bahkan dengan hitungan cahaya.
Setelah
menghitung itu semua, apakah pantas seseorang minta surga Allah…??? Maka Allah
berfirman : “Udkhulu bi rahmati” (masuklah surga dengan rahmat-Ku). Bukan
dengan amal kita, tapi dengan rahmat-Nya. Tapi mengapa Syara’ mengharuskan kita
menggapai surga dengan amal ? Yang kita lakukan dengan Syari’at adalah untuk
menggapai udkhulu bi rahmati tadi. Sebab tidak mungkin mendapatkannya tanpa
amal shaleh, tanpa menjalankan perintah-Nya.
Wallahu a’lam bissawab…
SUMBER
MAJALAH RISYALAH SYADILIYAH