Saturday 4 January 2014

PENGAJIAN SUFI terbaru 2014


MUHASABAH                                                           
Oleh : RKH. Fakhrillah Aschal 
pengasuh pp syaichona cholil  
Bangkalan Madura 


Seorang sufi setiap saat dan setiap waktu haruslah senantiasa mencurahkan dan mengarahkan perhatiannya terhadap dirinya sendiri dalam waktu apapun dan dalam melakukan apapun. Ia harus selalu waspada memandang diri sendiri dalam gerak-geriknya, baik jasmani maupun gerak-gerik ruhaninya.
Orang-orang sufi yang senantiasa melakukan koreksi diri atau mengontrol dirinya, akan selalu tampak perbuatan apa yang dilakukannya, sehingga ia tidak berani melakukan suatu perbuatan dosa sekecil apapun. Ia merasa bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Sang Qadli Yang Maha Agung.
Seorang hamba yang selalu mengontrol perbuataanya sendiri, maka akan terhindar dari kesesatan, serta tiada kesempatan baginya untuk melihat cela orang lain, karena dia sibuk mengontrol dirinya sendiri. Dia menjadi hamba yang beruntung, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ
Artinya: “Beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya sendiri, sehingga tidak sempat memperhatikan aib orang lain”
Orang yang selalu berfikir tentang keberadaan dirinya, mengontrol segala kesalahanya, dan mengawasi segala gerak-geriknya, menandakan dia jernih hati dan fikirannya. Bahkan Rasulullah SAW menggolongkannya sebagai orang yang pintar, sebagaimana sabda Beliau :
اَلْكَيِسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبِعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
Artinya: “Orang yang pintar ialah orang yang selalu mengoreksi dirinya sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati, dan orang yang lemah ialah orang yang selalu menurutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah” (HR. Turmudzi)
Kontrol terhadap dirinya sendiri harus terus-menerus dilakukan setiap saat dan setiap waktu. Sebab sekali saja lengah, saat itu pula dipergunakan oleh Syetan untuk menjerumuskannya ke dalam jurang kejahatan.
Sorang sufi harus senantiasa berusaha mengoreksi segala apa yang tersembunyi dalam hatinya dari berbagai cela dan kekurangannya. Hal ini lebih baik daripada mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Athaillah Assakandary dalam kitab Al-Hikam :
تَشَوُّفُكَ اِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوِّفِكَ اِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ
Artinya: “Usahamu untuk mengetahui apa yang tersimpan dalam dirimu dari berbagai macam cela itu lebih baik daripada usahamu kepada apa yang terhalang darimu dari berbagai macam perkara yang ghaib”
Dalam pribahasa disebutkan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, semut di seberang lautan tampak kelihatan. Inilah ungkapan yang menerangkan watak manusia yang suka melihat dan meneliti kesalahan orang lain sekecil apapun, akan tetapi lupa akan sengaja melupakan diri terhadap kesalahan diri sendiri.
Bagi seorang sufi tidak diperkenankan melakukan perbuatan semacam itu, karena sangat dilarang oleh Allah, sebagaimana Firman-Nya :

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوا اللهَ اِنَّ الله تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang “ (QS. Al-Hujuraat :12).
Orang yang selalu berfikir tentang keberadaan dirinya, mengontrol segala kesalahanya, dan mengawasi segala gerak-geriknya, menandakan dia jernih hati dan fikirannya. Bahkan Rasulullah SAW menggolongkannya sebagai orang yang pintar, sebagaimana sabda Beliau :
اَلْكَيِسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبِعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
 ‘”Orang yang pandai adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”.   (Imam Turmudzi) berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW   ( دان نفسه ) adalah        ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dan diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra beliau berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia. Dan diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seoarng hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan mengenai urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rabb-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah SAW mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan ( الكيس ), sedangkan kegagalan ( العاجز ) dikaitkan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah SAW dengan sabdanya, ( الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ) ‘oarng yang pandai (sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’
Ungkapan sederhana di atas sungguh menggambarkan tentang sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga pada kehidupan setalah kematian. Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi & planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi.
Karena orang yang sukses adalah orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah orang yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, diantaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr/ 59 : 18 – 19
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.”
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai kunci pertama dari kesuksesan ( الكيس ). Karena sekali lagi, orang yang sukses akan selalu mengevaluasi dari kinerja pribadi yang telah dilakukannya.
Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ( وعمل لما بعد الموت )’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah SAW langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara banyak sekali pribadi-pribadi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain. Di sinilah perbedaan mendasar evaluasi Islami dengan evaluasi non Islami. Evaluasi Islam adalah mengevaluasi demi perbaikan diri dan agar mendapatkan cinta Allah SWT. Maka konsekewnsinya adalah, beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sementara evaluasi non Islami, evaluasinya dilakukan agar dinilai baik oleh pihak lain.
Sementara kebalikan dari hal tersebut yaitu kegagalan, yang disebut oleh Rasulullah SAW dengan ( العاجز ) ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu yang pertama adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya (من اتبع نفسه هواه ). Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ( وتمنى على الله ) berangan-angan terhadap Allah.’
Maksud berangan-angan terhadap Allah SWT adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut : Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits diatas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar ra mengemukakan :
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar faham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah SWT.
2. Sementara Maimun bin Mihran ra mengatakan :
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an : “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam/ 19 : 95)
Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas segala amal perbuatan yang telah dilakukannya secara sendiri-sendiri. Dan seringkali manusia melupakan hal ini, sementara semakin hari semakin dekat antara dirinya dengan hisab tersebut. Allah SWT berfirman : “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’/ 21 : 1).
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi (Dievaluasi)
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai & sukses ( الكيس ) sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, diantaranya yaitu :
1. Aspek Ibadah ( الجانب التبعدي )
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56). Artinya ibadah merupakan tugas & pekerjaan utama manusia dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karenanya, sepatutnya aspek ibadah menjadi perhatian utama evaluasi bagi manusia. Evaluasi aspek ibadah ini, mencakup dua hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.
a. Ibadah wajib.
Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap muslim. Minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam; shalat, puasa, zakat dan juga haji. shalat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allah SWT pada hari akhir ; “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari seroang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya fasad (rusak/ cacat) maka sungguh ia akan menyesal dan merugi.” (HR. Nasa’i)
Dalam hadits lain tentang muflis (orang yang bangkrut), dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa orang yang muflis didatangkan ke hadapan Allah SWT dengan amalan shalat, puasa dan zakat, namun juga membawa ‘dosa’ suka mencela, menuduh, memukul, memakan harta orang lain dan lain sebagainya.
“Orang yang bangkrut dari umatku di hari kiamat adalah orang yang datang dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) mencela kehormatan orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain dan memukul orang lain.”(HR. Muslim)
Hadits di atas menggambarkan bahwa pada hari akhir kelak, yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban adalah ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu, seperti shalat, puasa dan zakat. Baru kemudian setelah itu amaliyah-amaliyah yang lain. Belum lagi hadits-hadits lain yang menggambarkan tentang urgensi ibadah-ibadah fardhu.
Kaitannya dengan muhasabah, bahwa setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadah fardhunya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, pemberian dampaknya dalam kehidupan, istiqamahnya, dan lain-lain. Peningkatan tersebut harus didasarkan pada evaluasi dirinya atas ibadah fardhu yang telah dilakukannya. Apa kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaannya. Apa pula faktor-faktor yang selama ini dapat meningkatkan kualitas ibadah tersebut, dan seterusnya.
Pada intinya perlu dijaga, agar jangan sampai amaliyah ibadah fardhu ini menjadi berkurang dan memiliki cacat dalam pelaksanaannya. Karena cacatnya amaliyah ini, akan berdampak pada cacatnya amaliyah lainnya. Sehingga peningkatan pada aspek ini sangat mutlak diperlukan.
b. Ibadah sunnah
Ibadah sunnah juga tidak kalah pentingnya dengan ibadah fardhu. Karena ibadah sunnah akan menjadi penyempurna bagi ibadah fardu. Bahkan ulama mengatakan bahwa salah satu indikasi kesempurnaan keimanan seorang mu’min adalah kelanggengannya dalam melaksanakan ibadah sunnah.
Rasulullah SAW sendiri memberikan porsi dalam aspek ini dengan begitu besarnya. Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan Sayyidatuna Aisyah RA, bahwa beliau SAW shalat malam hingga kedua kaki Beliau bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian bagaimana beliau berpuasa sunnah, dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, infak shadaqah, berbuat ihsan, dan sebaginya. Kesemuanya menggambarkan betapa aspek ini sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan juga para sahabatnya.
Evaluasi dalam ibadah sunnah sangat penting, karena terkadang karena sifatnya yang hanya ‘sunnah’, seringkali pelaksanaannya terabaikan. Sementara urgensi ibadah sunnah ini sangat signifikan dalam peningkatan ketakwaan dan ketaqarruban seseorang kepada Allah SWT serta dalam menjaga keistiqamahan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bersabda:
‘Segeralah melakukan amal shaleh, sebab akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita. Ketika itu seseorang beriman pada pagi hari, sementara pada sore harinya ia kufur kepada Allah SWT. Dan pada sore hari seseorang beriman, sementara pagi harinya ia kufur kepada Allah SWT. Ia menukar agamanya demi sedikit keuntungan duniawi.” (HR. Muslim).
Secara tersurat hadits ini menggambarkan mengenai sifat dari amal shaleh (yang unsur terpentingnya adalah ibadah sunnah), akan menjaga keimanan, terhindar dari fitnah serta menjaga keistiqamahan. Karena tantangan dan fitnah di ‘luar’ demikian besarnya. Sesuatu yang haq, bisa diputarbalikkan menjadi seolah-olah bathil, demikian juga sebaliknya.
Dari sini tampak jelas, urgensitas dari ibadah sunnah tersebut. Karena ‘cacatnya’ perhatian pada ibadah sunnah, akan berakibat pada hilangnya ‘kestabilan’ iman, mudah terperdaya dengan fitnah, bahkan terseret pada jurang kehinaan (na’udzubillah min dzalik).
Sektor terpenting dari ibadah sunnah yang perlu dievaluasi diantaranya adalah pada aspek qiyamul lail, shalat dhuha, shaum sunnah, tilawatul qur’an, dzikrullah, Shalawat, infaq shadaqah, dzikrul maut, dan lain sebagainya. Sedangkan bentuk evaluasinya sama sebagaimana evaluasi pada ibadah ibadah fardhu.
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditidakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya & kemana dibelanjakannya & ilmunya sejauh mana pengamalannya?’ (HR. Turmudzi)
Hadits di atas menggambarkan tentang akibat dari melalaikan unsur perolehan harta. Bahwa seseorang tidak akan bergerak kedua tapak kakinya di akhirat kelak, hingga ia ditanya tengan 5 hal, diantaranya tentang sumber penghasilannya. Senada dengan hadits tersebut, Allah SWT sesungguhnya telah mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang memakan atau mencari harta dengan cara yang bathil: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.  Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara bathil, beliau menafsirkannya dengan            ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang substansi pekerjaannya, cara pelaksanaannya, mekanismenya dan sistemnya tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah bathil.
Pada intinya, semua pekerjaan dan sumber penghasilan yang telah didapatkannya, harus dievaluasi kembali. Apakah semuanya sudah jelas kehalalannya? Ataukah masih terdapat hal-hal yang berbau syubhat dan keharaman? Jika dalam evaluasi terdapat satu sumber penghasilan yang mengandung keharaman, maka harus segera ditinggalkan, kendatipun besarnya penghasilan dari aspek tersebut.
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman                                                                                   ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam arti hubungan pergaulan,       akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.” Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di jalan raya, dan lain sebagainya? Jika terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada Ilahi, banyak istighfar dan taubat dan lain-lain.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada muhasabah aspek da’wah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu da’wah itu sendiri.
Muhasabah pada bidang da’wah ini jika dibreakdown dalam setiap sektor, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi da’wah dalam bidang da’wah ‘ammah, evaluasi da’wah dalam bidang siyasi, dan seterusnya.
Pada intinya, da’wah harus dievaluasi, agar harakah da’wah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai da’wah itu sendiri. Mudah–mudahan ayat di bawah ini menjadi bahan evaluasi bagi da’wah yang sama-sama kita lakukan : “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf/ 12 : 108)
Waktu Muhasabah
Muhasabah (evaluasi diri) dapat dilakukan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, tri wulan, semeseter, tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, dua puluh tahunan, dua puluh lima tahunan, dan seterusnya tergantung kebutuhan. Yang terbaik adalah evaluasi dalam segala kesempatan dimana kita dapat mengevaluasi.
Imam Syahid Hasan Al-Banna menyarankan agar kita mengevaluasi secara harian terhadap amal ibadah yang dilakukan secara harian pula. Karena diantara hikmahnya, agar setiap amal harian kita terstruktur dengan baik dan agar keesokan harinya kita bisa beramal lebih baik dari yang diamalkan hari ini atau hari kemarin. Namun evaluasi harian saja tidak akan cukup, tanpa adanya evaluasi mingguan. Evaluasi mingguanpun tidak akan sempurna tanpa evaluasi bulanan. Dan evaluasi bulanan juga tidak akan berarti banyak tanpa evaluasi tahunan, dan seterusnya. Muhasabah akan menentukan kembali arah yang akan dituju. Muhasabah juga akan membentuk seperti apa kita akan menjadikan diri kita. Dan muhasabah juga akan menjadikan format hidup kita lebih teratur dan pastinya lebih baik.
Penutup
            Alhasil, setelah kita melakukan muhasabah ternyata sangat sedikit waktu kita untuk beribadah kepada Allah SWT, dibandingkan dengan umur dan karunia-Nya yang diberikan setiap saat dan setiap waktu.
            Contoh gampangnya adalah shalat yang kita lakukan. Kita shalat lima waktu, jika satu waktu itu dihitung 5 menit, berarti sehari semalam hanya 25 menit. Dalam satu bulan (25 menit x 30 hari) berarti 750 menit atau 12,5 jam. Dalam satu bulan kta hanya membutuhkan waktu 12,5 jam atau setengah hari untuk melaksanakan shalat. Dalam satu tahun ada 12 bulan, berarti waktu shalat kita dalam 1 tahun adalah ½ (hari) x 12 (bulan) = 6 hari. Dalam setahun kita hanya membutuhkan waktu 6 hari untuk shalat. Jumlah hari dalam 1 tahun adalah 365 hari. Jika dikurangi 6 hari yang kita habiskan untuk shalat, sisanya adalah 359 hari. Jadi dalam setahun waktu yang tidak terpakai shalat 359 hari.
            Kalau kita berumur 60 tahun, jumlah waktu yang kita gunakan untuk shalat adalah 60 tahun (usia kita) dikurangi 15 tahun masa sebelum aqil baligh = 45 tahun. Ini berarti yang dihitung 6 hari (total waktu shalat satu tahun) x 45 (jumlah usia) = 270 hari. Jadi orang yang umurnya 60 tahun, waktu yang dihabiskan untuk shalat hanya 270 hari. Dari 60 tahun (21900 hari), kewajiban shalat hanya 270 hari, berarti 21900 dikurangi 270 hari = 21630 hari (yang tidak digunakan untuk shalat). Itulah shalat yang temporal dibalas oleh Allah dengan rahmat dan surge-Nya yang tak dapat diukur dengan waktu, bahkan dengan hitungan cahaya.
            Setelah menghitung itu semua, apakah pantas seseorang minta surga Allah…??? Maka Allah berfirman : “Udkhulu bi rahmati” (masuklah surga dengan rahmat-Ku). Bukan dengan amal kita, tapi dengan rahmat-Nya. Tapi mengapa Syara’ mengharuskan kita menggapai surga dengan amal ? Yang kita lakukan dengan Syari’at adalah untuk menggapai udkhulu bi rahmati tadi. Sebab tidak mungkin mendapatkannya tanpa amal shaleh, tanpa menjalankan perintah-Nya.
Wallahu a’lam bissawab…  


SUMBER 
MAJALAH RISYALAH SYADILIYAH


No comments:

Post a Comment

Charly setia band nyantri di pp syaichona cholil

https://youtu.be/2ELP8ewuNHc https://youtu.be/2ELP8ewuNHc