Sunday, 23 October 2016

Hikam tentang istidroj

Semoga bermanfaat

خف من وجود احسانه اليك ودوام اساءتك معه ان يكون ذلك استدراجا لك سنستدرجهم من حيث لايعلمون
Takutlah dengan adanya kebaikan Allah kepadamu sementara kamu durhaka kepada-Nya, karena mungkin saja itu adalah bentuk istidroj kepadamu. “Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang mereka tidak ketahui”.
PENGERTIAN ISTIDROJ
Sebelum kita mengetahui makna istidroj, ada baiknya kita mengetahui dahulu dua sikap yang berkenaan dengan nikmat Allah SWT. Yakni syukur nikmat dan kufur nikmat. Syukur dan kufur adalah dua sikap yang bertentangan. Kebanyakan orang memahami syukur adalah  sebagai ungkapan pujian kepada Allah SWT seperti الحمد لله, الشكر لله ,نشكرالله  atas nikmat yang telah karuniakan oleh Allah SWT kepadanya. Jadi orang yang mengucap الحمد لله, الشكر لله ,نشكرالله  dan sejenisnya ketika mendapatkan nikmat adalah orang yang bersyukur menurut kebanyakan orang. Tapi bagaimana menurut Allah SWT?
Allah SWT berfirman:
و قليل من عبادي الشكور (سباء 13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang bersyukur”. (Q.S. Saba’:13)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa syukur yang dikehendaki Allah SWT dan yang di perintahkan kepada kita adalah syukur yang memiliki makna yang lain, tidak hanya sekedar ungkapan pujian semata. Syukur yang di maksud adalah penggunaan segala sesuatu yang telah diberikan Allah SWT sesuai dengan fungsi dan tujuannya menurut agama. Dan kebalikannya adalah kufur, yakni tidak mengakui adanya anugerah dari Allah SWT kepadanya atau tidak menggunakan nikmat sesuai fungsi dan tujuanya menurut agama. Dan dari dua sikap yang berbeda ini pula Allah SWT menjanjikan dua hal yang berbeda. Allah SWT berfirman:
لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد (ابراهيم 7)
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepada mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrohim:7)

Setelah kita mengetahui makna syukur dan kufur, maka kita tahu bahwa orang yang kufur nikmat berarti ia menawarkan dirinya untuk terhalang dari nikmat yang dianugerahkan kepadanya atau bahkan terputus dari nikmat tersebut. Namun bagaimana jika ada orang yang terus  berada dalam kenikmatan padahal ia adalah orang yang kufur nikmat? Ketahuilah bahwasannya orang tersebut adalah orang yang mendapatkan istidroj, seperti yang dimaksud dalam ayat di bawah ini:

فذرني ومن يكذب بهذا الحديث سنستدرجهم من حيث لا يعلمون وأملي لهم إنَ كيدي متين (القلم 44-45)
Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan  ini (Al-Quran). Kelak akan kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang mareka tidak ketahui. Dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh rencana-Ku sangat teguh”. (Q.S. Al-Qolam:44-45)

Jadi secara ringkas istidroj  adalah pemberian nikmat kapada orang yang mengkufurinya dalam rangka agar orang tersebut semakin lupa dan terus dalam kekufurannya atas nikmat yang diterimanya tersebut  sebagai bentuk murka Allah SWT kepadanya.

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN KETIKA MENDAPAT NIKMAT?
Ketika seorang muslim mendapat nikmat dari Allah SWT, maka hendaknya orang tersebut bisa lebih waspada dalam dirinya, mau meraba apakah nikmat yang begitu besar berupa iman sudahkah disyukuri atau belum, sehingga muhasabah dan mawas diri seperti ini akan menjadikan kita takut akan nikmat yang kita terima ,apakah ini nikmat dari Allah SWT atau istidroj.
Adapun  dampak positif yang timbul dari mawas diri dan takut atas nikmat Allah SWT adalah timbulnya perasaaan yang mendorong diri kita untuk selalu memperbaiki diri dan bersyukur. Namun jika ada orang berkata “ketika aku mengintropeksi diri aku merasa sudah melaksanakan hak-hak Allah SWT dan mensyukuri nikmat-Nya, sehingga aku bingung bagaimana aku bisa merasa takut kepada Allah SWT sedangkan aku sudah menjalankan hak-hak Nya”. Maka orang semacam ini orang yang merasa telah  menjalankan hak-hak Allah SWT, tidak melakukan kesalahan dan bersyukur atas nikmat Allah SWT merupakan orang yang mempunyai prasangka yang salah.
Dari keterangan diatas bisa kita pahami, bahwa orang yang mengetahui keagungan Robbnya maka ia akan merasa bahwa begitu banyak hak-hak Allah SWT yang belum ia kerjakan dan begitu banyak kesalahan-kesalahan yang ia perbuat. Tetapi hal ini berbeda dengan seorang hamba yang merasa bahwa dirinya telah menjalankan hak-hak Allah SWT dan merasa nikmat Allah SWT yang diberikan kapadanya merupakan hasil jerih payahnya, maka orang yang demikian ini adalah orang yang jauh dari Allah SWT dan terjatuh pada lubang kesalahan.
Bisa kita simpulkan seorang mukmin disamping husnudzon hendaknya selalu waspada akan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan, apakah ini istidroj atau  bukan. Banyak dari kita yang telah mencapai derajat yang tinggi disisi Allah SWT sebagaiman derajat yang di capai oleh sayyidina Umar r.a, diceritakan ketika sayyidina Umar mendapat ghonimah dari ekspansi islam, beliau merasa sedih dan susah karena takut akan nikmat-nikmat yang ia terima merupakan istidroj dari Allah SWT. Bahkan diceritakan oleh Ibnu Umar dalam kitab Bidayah Wannihayah dan di dalm kitab Thobaqot oleh Ibnu Sa’ad, diceritakan ketika Umar r.a diberi harta ghonimah hasil dari ekspansi islam di Qodisiyah Persi, sayyidina Umar r.a seraya menangis berkata,”jangan sekali–kali, demi Dzat yang jiwaku berada pada kekuasaaNya, Allah SWT menahan (tidak memberi kemenangan) kepada Nabi dan Abu Bakar r.a karena menghendaki kejelekan kepada mereka, bukan pula Allah SWT memberi kemenangan kepada Umar karena menghendaki kebaikan kepadanya”.
Jadi tak aneh jika seorang muslim yang telah mencapai derajat robbaniyyun sebagaimana sayyidina Umar r.a akan selalu hidup dengan disertai kewaspadaan atas nikmat-nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya, apakah ini merupakan nikmat  atau merupakan istidroj ? Karena orang yang seperti ini merasa bahwa  dirinya masih berprilaku buruk. Sehingga ia selalu merasa bahwa nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya merupakan istidroj.

BAROMETER ISTIROJ
Dalam kapasitas orang awam seperti kita, barometer untuk membedakan nikmat yang datang dari Allah SWT sebagai kemuliaan atau sebagai sebuah istidroj adalah dengan melihat aqidah dan suluk penerima nikmat. Ketika seseorang yang mendapatkan nikmat, dia beranggapan bahwa nikmat yang diterima adalah murni pemberian dari Allah SWT bukan disebabkan amal-amalnya kemudian dia tidak memperdulikan banyak sedikitnya nikmat serta tidak menganggapnya penting dan dalam setiap langkahnya dia selalu mematuhi perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta menggunakan nikmat yang telah diterimanya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjauhkannya dari hal-hal yang di benci Allah SWT, maka bisa di simpulkan bahwa nikmat yang di terimanya tersebut adalah sebuah kebaikan dan kemuliaan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya. Namun sebaliknya, jika ada seseorang yang mendapatkan nikmat dia menganggap nikmat yang diterimanya adalah sebab atau hasil dari kerja atau usahanya sendiri sampai-sampai dia lupa Allah SWT sebagai musabbibul asbab,  kemudian bersamaan dengan itu dia selalu menuruti hawa nafsu dan kasenangannya dan melupakan Allah SWT sang pemberi nikmat serta melupakan perintah dan wasiat Allah SWT, juga melanggar batas-batas perkara yang di haramkan-Nya, maka jelaslah bahwa nikmat yang diterimanya adalah sebuah istidroj dari Allah SWT yang akan menterpurukannya dan akan menambahkan siksa baginya.

CONTOH-CONTOH ISTIDROJ
Perlu kita ketahui bahwasannya  istidroj yang diberikan pada sebuah kelompok atau negara yang mana kelompok atau negara tersebut telah lalim/angkuh dan bertindak semena-mena bukanlah suatu hal yang dianggap aman atau nikmat yang akan bertambah terus-menerus. Bahkan hal yang seperti itu menjadi tanda-tanda kehancuran kelompok atau negara tersebut. Akan tetapi tanda kehancuran suatu negara itu berbeda dengan tanda kehancuran yang dialami perorangan , yang mana kehancuran suatu negara akan terjadi ketika negara tersebut menuai masa kejayaan sebagaimana yang dialami oleh perorangan pada umumnya. Jika mengetahui tanda kehancuran pada suatu negara, maka jangan dikira negara tersebut akan hancur begitu saja dalam jangka waktu 2 atau 3 tahun yang mendatang sebagaimana hancurnya manusia yang penyakitnya telah menyebar ke seluruh tubuhnya, karena kehancuran suatu organisasi atau negara dihitung dengan jangka waktu yang lama sedangkan seorang manusia kehancurannya bisa dihitung dengan hitungan hari atau tahun. Yang terpenting kita harus memperhatikan bahwasannya sudah menjadi sunatullah bahwa kehancuran suatu negara yang lalim itu terjadi ketika negara yang angkuh akan kesombongannya tersebut mencapai puncak kejayaan maka disitulah Allah SWT akan manghancurkan atau menjatuhkan negara tersebut dari kejayaannya.
Ketahuilah bahwasannya Qorun ketika dia membangga-banggakan atau sombong dengan hartanya dan kekuasaannya maka disitulah Allah SWT memberikan tambahan istidroj atas apa yang telah di lakukunnya dan juga Allah SWT memberinya waktu yang cukup untuk dia mencapai puncak kedurhakannya tersebut, sehingga orang-orang yang bodoh berperasangka atau mengira bahwa Qorun telah di anugerahi kebahagiaan dan kekuasaan yang bisa di nikmati sebagaimana layaknya seorang raja, sehingga mereka berangan-angan ingin mendapatkan seperti apa yang di dapat oleh Qorun. Sebagaiman firman Allah SWT:

يا ليت لنا مثل ما اوتي قارون إنه لذو حظ عظيم (القصص 79)
“mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah di berikan kepada Qorun, sesungguhnya dia mempunyai keberuntungan yang besar”. (Q.S. Al Qoshosh:79)

Namun ketika Qorun telah mencapai puncak kelaliman, kekayaan serta kekuasaan maka Allah SWT dengan sekejap saja menghancurkan dan membinasakan kekuasaan dan kekayaannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

فخسفنا به وبداره الارض (القصص 81)
“Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya kedalam bumi”. (Q.S. Al Qoshosh:81)

Jika kita menengok cerita Fir’aun yaitu seorang yang keras kepala, congkak, lalim yang tak mau menerima saran dan nasehat dari orang lain bahkan ia menganggap remeh ancaman dari Allah SWT yang di tujukan kepadanya sehingga Allah SWT membiarkan semua perbuatannya dan memberinya harta dunia yang melimpah hingga ia menjadi lebih congkak dan sombong bahkan merasa bahwa dunia berada di genggamannya serta ia beranggapan bahwa tidak ada qodlo’ atau putusan kecuali darinya hingga akhirnya Allah SWT menenggelamkannya dalam laut dan membinasakannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

ودمرنا ماكان يصنع فرعون وقومه وما كانوا يعرشون (الاعراف 137)
“Maka Kami hancurkan apa yang telah di perbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun”. (Q.S. Al A’rof:137)   

PENJAJAHAN ORANG BARAT TERHADAP ORANG ISLAM
Kebanyakan orang-orang zaman sekarang menanyakan tentang menguasainya orang-orang kafir terhadap orang-orang islam. Mungkin diantara mereka akan  bertanya; apabila ini merupakan sunatullah yang berupa istidroj kepada mereka, maka kapankah kehancuran mereka? Apakah kekuasaan mereka itu bisa menguasai orang-orang islam dan merebut hak-hak mereka?
Jawabannya adalah muslim yang sekarang bukanlah muslim yang dijanjikan oleh Allah SWT dengan dianugerahi pertolonganan, yakni orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

إنا لننصر رسلنا والذين امنوا في الحياة الدنيا ويوم يقوم الاشهاد (غافر 51)
“Sesungguhnya Kami akan  menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari kiamat)”. (Q.S. Ghofir:51)

Dan juga bukan muslim yang dikhitobi oleh Allah SWT dalam ayat:

لنهلكن الظالمين ولنسكننكم الارض من بعدهم (ابراهيم 13-14) 
“Kami pasti akan membinasakan orang yang dholim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka”. (Q.S. Ibrohim:13-14)

Dan juga bukan orang-orang yang dijanjikan oleh Allah SWT  dalam ayat:

وعدالله الذين أمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الارض كما استخف الذين من قبلهم (النور 55)
“Allah telah menjajikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. (Q.S. Annur:55)

Tapi muslim yang sekarang ini adalah muslim yang bermodel-model yang mengherankan. Sesungguhnya mereka mengklaim dirinya sebagai orang islam dengan menggunakan ucapan-ucapan dan lambang-lambang islam belaka. Sebenarnya mereka bosan dengan aturan-aturan islam, mereka menganggapnya kuno yang tidak ngetrend pada zaman sekarang. Mereka suka merubah semua hukum-hukum islam, karena mereka menganggap sekarang sudah zaman modern, dan kemungkaran tersebut sudah masyhur dikalangan masyarakat, sehingga kemungkaran tersebut seakan-akan menjadi hal baik yang mereka sukai. Maka bagaimana mungkin mereka mendapat pertolongan dari Allah SWT sedangkan mereka  tidak berpegangan dengan hukum-hukum islam.

Ketahuilah bahwasannya sunatullah di dunia ini akan berjalan sesuai dengan keadaannya penghuninya. Hanya saja keberadaan orang-orang mukmin yang patuh pada aturan-aturan Allah SWT dan orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT dan aturan-aturan-Nya ibarat timbangan yang berat salah satunya. Apabila orang-orang mukmin itu memang benar-benar iman kepada Allah SWT, memenuhi hak serta kewajibannya kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menjadikan pimpinan kehidupan dipegang oleh mereka, memberikan kemulyaan, kenikmatan dan pertolongan kepada mereka yang tidak terhingga dan mengangkat derajat mereka.

Namun jika orang-orang mukmin menyia-nyiakan syariat Allah SWT, menganggap remeh aturan-aturan Allah SWT, lisannya tidak sesuai dengan hatinya, serta mereka sudah tidak punya himmah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar atau bahkan mereka merasa muak dengan hal-hal yang ma’ruf, maka Allah SWT akan menjadikan kelangsungam hidup dan kekuasaan yang semestinya mereka miliki barada pada genggaman umat lain, meskipun umat tersebut merupakan orang yang durhaka dan kafir.
Aturan dalam dunai ini akan terus berjalan, dan adanya orang-orang mukmin yang durhaka serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya tidak menjadikan aturan-aturan tersebut lenyap begitu saja. Akan tetapi Allah SWT akan menyerahkan kendali dunia yang seharusnya dimiliki orang mukmin kepada umat lain sebagai akibat atas perbuatan-perbuatan orang-orang mukmin yang telah menyia-nyiakan amanah dan mengingkarinya. Dijelaskan dalam Al-Quran:
و كذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسبون (الانعام 129)
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang dholim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al An’am:129)

Di ayat lain juga menerangkan aturan-aturan Allah SWT yang ditujukan kepada Bani Israil, sebagaimana firman Allah SWT:

فاذا جاء وعد اولا هما بعثنا عليكم عبادا لنا اولي بأس شديد فجاسوا خلال الديار وكان وعدا مفعولا (الاسراء 5)
“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana”. (Q.S. Al Isro’:5)

Sebagaimana yang telah kita ketahui dari ayat diatas, bahwa Bani Israil merupakan contoh segolongan kaum yang mengingkari janji dan mengkufuri nikmat-nikmat Allah SWT yang diberikan kepada mereka, sehingga Allah SWT membiarkan mereka dalam kesengsaraan dibawah penindasan Bukhtanashoro dan kaumnya.
Di dalam sabda Nabi SAW juga disebutkan:
إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لاينزع حتى ترجعوا إلى  دينكم
“Jika kalian jual beli dengan barang riba, memegang ekor sapi (beternak hingga lupa ibadah), ridlo dengan tanamannya (bekerja hingga lupa ibadah) dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membiarkan kalian semua dalam kesengsaraan hingga kalian semua kembali kepada agama kalian semua”.

Dahulu ketika Sa’ad bin Abi Waqosh berangkat bersama dengan pasukannya untuk menaklukan Qodisiyah, sayidina Umar r.a sempat menghimbau tentaranya agar menjauhi perbuatan-perbuatan dosa. Karena dengan adanya kemaksiatan akan menyebabkan terkalahkan oleh orang-orang dholim. Sayidina Umar r.a berwasiat kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, sesungguhnya Allah SWT tidak menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi Allah SWT menghapus kejelekan dengan kebaikan. Jagalah pemimpinmu dan orang-orang yang  bersamamu dari berbuat dosa, karena dosa-dosa tentara lebih berbahaya dari pada musuh mereka. Umat muslim diberi kemenangan karena adanya kemaksiatan musuh kepada Allah SWT. Sehingga jika tidak demikian maka kita tidak punya kekuatan, karena jumlah kita tidak sama sengan jumlah mereka. Karenanya, jika kita juga berbuat maksiat kepada Allah SWT seperti halnya mereka, maka mereka akan unggul dan mengalahkan kita. Janganlah kalian berkata “sesungguhnya musuh kita lebih jelek, mereka tidak bisa mengalahkan kita. Cukup banyak kaum yang di kalahkan oleh kaum yang lebih jelek dari mereka karena, seperti Bukhtanashoro yang mengalahkan Bani Israil dan merajalela di kampung”.

Pendiri Daulah Usmaniyah membuktikan kebenaran sunatullah ini dan dia melihat bagaimana sunatullah ini berlaku pada zaman sesuai dengan umat yang ada didalamnya. Hingga ketika ia merasa ajalnya sudah dekat ia mendatangi putra sulungmya, menceritakan bukti sunatullah ini dan memberikan nasihat yang berharga “Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini seperti seekor semut yang lemah. Lalu Allah SWT memberikan nikmat yang agung ini kepadaku. Maka ikutilah jejakku, amalkan ajaran agama ini dengan teguh dan mulyakanlah pemeluknya. Ini adalah tugas para raja di bumi ini”.
Namun kita harus tahu bahwa kenyataan sekarang ini yang telah berlangsung sejak lama bukanlah dinamakan kemenangan orang-orang kafir atas orang-orang islam. Hal ini tidak adalah taslith atau tauliyah.
Saya mengatakan demikian bukanlah untuk menghibur orang islam dengan kenyataan yang menimpa mereka, tetapi mengungkap kenyataan yang ada pada orang mereka. Sama benarnya, apakah kita memahami bahwa dunia barat unggul dan menang atau taslith dan istidroj bahwa mereka menguasai orang islam dengan paksa dan hina dan orang islam menjadi terendahkan di bawah kekuasan mereka. Fakta ini bukanlah terjadi tanpa sebab. Ini terjadi akibat perbuatan orang islam itu sendiri. Mereka telah mengganti nikmat Allah SWT yang diberikan kepada mereka dengan kekufuran, lebih-lebih nikmat islam yang Allah SWT ridloi dan menjadikan mereka berkedudukan tinggi yang tidak dimiliki oleh seorangpun dari selain orang islam.
Walaupun demikian mayoritas dari kita tidaklah termasuk golongan yang berada pada tingkatan istidroj dengan adanya kenikmatan dan berlimpahnya kenikmatan. Tetapi kita masih berada pada tingkatan kesadaran pada Allah SWT. Dengan bukti anugerah besar yang kita nikmati terkadang hilang dan terhalang dari kita.
Semoga Allah SWT menjadikan nikmat yang diberikan kepada kita sebagai nikmat yang menjadikan kita semakin dekat kepada-Nya dan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiiin……

Saturday, 22 October 2016

Hikmah cobaan dan ujian

Hadapi hidup dengan senyuman
Serta sadarlah bahwa semua yg terjadi dalam hidup kita ada hikmah berikut hikmahnya
1. Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)
2. Tiada seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dan menghapus darinya dosa. (HR. Bukhari)
3. Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujian dan cobaannya?”Nabi Saw menjawab, “Para nabi kemudian yang meniru mereka dan yang meniru mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamnya tipis (lemah) dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (berat). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa. (HR. Bukhari)
4. Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan baginya maka dia diuji (dicoba dengan suatu musibah). (HR. Bukhari)
5. Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya dengan amal-amal kebaikannya maka Allah menguji dan mencobanya agar dia mencapai derajat itu. (HR. Ath-Thabrani)
6. Apabila Allah menyenangi hamba maka dia diuji agar Allah mendengar permohonannya (kerendahan dirinya). (HR. Al-Baihaqi)
7. Apabila Aku menguji hambaKu dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar maka Aku ganti kedua matanya dengan surga. (HR. Ahmad)
8. Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai pun duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR. Bukhari)
9. Seorang mukmin meskipun dia masuk ke dalam lobang biawak, Allah akan menentukan baginya orang yang mengganggunya. (HR. Al Bazzaar)
10. Tidak semestinya seorang muslim menghina dirinya. Para sahabat bertanya, “Bagaimana menghina dirinya itu, ya Rasulullah?” Nabi Saw menjawab, “Melibatkan diri dalam ujian dan cobaan yang dia tak tahan menderitanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
11. Bukanlah dari (golongan) kami orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek bajunya apalagi berdoa dengan doa-doa jahiliyah. (HR. Bukhari)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Bukan dari golongan kamiorang yang menampar-nampar pipi, mengoyak-ngoyak baju dan meratap dengan ratapan Jahiliyyah’,” (HR Bukhari [1294] dan Muslim [103]).
Penjelasan : Dilakukan pada saat kematian anggota keluarga pada jaman jahiliyah.
12. Allah menguji hambaNya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang ke luar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang ke luar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah). (HR. Ath-Thabrani)
13. Salah seorang dari mereka lebih senang mengalami ujian dan cobaan daripada seorang dari kamu (senang) menerima pemberian. (HR. Abu Ya’la)
14. Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dalam rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridho dengan bagian yang diterimanya maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberianNya. Kalau dia tidak ridho dengan pemberianNya maka Allah tidak akan memberinya berkah. (HR. Ahmad)
15. Barangsiapa ditimpa musibah dalam hartanya atau pada dirinya lalu dirahasiakannya dan tidak dikeluhkannya kepada siapapun maka menjadi hak atas Allah untuk mengampuninya. (HR. Ath-Thabrani)
16. Bencana yang paling payah ialah bila kamu membutuhkan apa yang ada di tangan orang lain dan kamu ditolak (pemberiannya). (HR. Ad-Dailami)
17. Barangsiapa diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, dizalimi lalu memaafkan dan menzalimi lalu beristighfar maka bagi mereka keselamatan dan mereka tergolong orang-orang yang

Maqom tajrid dan asbab


TAJRID YANG DIPERBOLEHKAN SECARA SYARA', AKAL  DAN PERASAAN
 
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ, وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْد اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ.
 
Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan, adalah syahwat yang samar (tersembunyi). Sedangkan keinginanmu untuk memperoleh sarana penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari urusan duniawi, adalah suatu kemunduran dari cita-cita luhur.
Keterangan:
Asbab (bentuk jamak dari sabab) yaitu hal-hal yang dijadikan perantara untuk mendapatkan sesuatu yang dituju (diinginkan) dalam kehidupan dunia. Misalnya kesibukan seseorang dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tajrid adalah memperoleh sesuatu yang dituju dalam kehidupan dunia tanpa perlu melakukan hal-hal yang menjadi perantaranya. Misalnya seseorang yang mendapatkan rezeki tanpa perlu melakukan suatu pekerjaan.
 
Jika dilihat dari perlu atau tidaknya seseorang melakukan kegiatan untuk mendapatkan sesuatu dalam kehidupan dunia, maka kedudukan manusia terbagi menjadi 2 yaitu :
 
1. Maqom Asbab
Kedudukan seseorang yang memerlukan kegiatan (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Allah SWT berfirman :
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِى اْلأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ
Dan sesungguhnya kami telah menempatkan kalian di bumi, dan kami telah menjadikan bagi kalian pekerjaan-pekerjaan di dalamnya [S. al-A’raf : 10]
Rasulullah SAW bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَظُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tiada seseorang yang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari (hasil) pekerjaan tangannya, dan sesungguhnya nabi Dawud AS memakan (makanan) dari pekerjaan tangannya. [HR al-Bukhori]
Tandanya:
Jika ia merasa tenang dalam beribadah saat ia memiliki pekerjaan, dan ia dapat melakukan kedua hal itu (ibadah dan bekerja) dengan baik, lancar dan kebutuhannya tercukupi.
 
2. Maqom Tajrid
Kedudukan seseorang yang tidak memerlukan kegiatan (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Tandanya adalah jika merasa tidak tenang dalam beribadah jika ia bekerja dan ia tidak dapat melakukan keduanya dengan baik atau adanya halangan-halangan saat ia bekerja.
Allah SWtT berfirman :
وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَاْلإِنْجِيْلَ وَمَا اُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ َلأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْ
Seandainya mereka (orang-orang ahli kitab) sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Quran) yang diturunkan kepada mereka niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. [S. al-Maidah: 66]
 
Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلىَ اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزَقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوْحُ بِطَانً
Seandainya kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sesungguhnya maka Allah akan memberi rezeki kalian seperti Allah memberi rezeki pada burung yang berangkat dalan keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.
[HR Ahmad, an-Nasa-I dalam Sunan al-Kubra dan at-Tirmidzi beliau berkata: Hadis hasan sohih.
Hadis ini dsohihkan pula oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim]
 
Jika seseorang telah ditentukan oleh Allah di maqom asbab kemudian ia berpindah ke maqom tajrid dengan kemauannya sendiri maka perbuatannya ini sebenarnya adalah sayhwat (nafsu) yang tersembunyi.
setiap orang itu memiliki maqom (kedudukan) sendiri-sendiri yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dan ia tidak dapat berpindah ke satu maqom ke maqom yang lain kecuali telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Jika seseorang tidak tahu apakah ia termasuk maqom asbab ataukah maqom tajrid maka hendaklah ia mencari guru yang soleh dan makrifat yang dapat menunjukkan atau menetapkan maqomnya di dunia ini.
 
Jika seseorang telah ditentukan oleh Allah di maqom asbab kemudian ia berpindah ke maqom tajrid dengan kemauannya sendiri maka perbuatannya ini sebenarnya adalah sayhwat (nafsu) yang tersembunyi.
 
Misalnya karena ia melihat orang lain yang tidak bekerja hanya tinggal di rumah sudah memperoleh rezeki tanpa perlu bekerja maka ia pun meninggalkan pekerjaan dan hanya beibadah saja dan mengharapkan kedatangan rezeki. Mungkin dalam hatinya ada rasa malas untuk bekerja dan tidak ingin bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mungkin pula ia ingin mendapatkan penghormatan atau kedudukan di masyarakat. Ini sebenarnya adalah syahwat (nafsu) yang tersembunyi yang diselubungi dalam bentuk kebaikan dan ibadah. Tandanya jika ia dalam keadaan miskin atau kebutuhannya tidak tercukupi maka ia kembali lagi sibuk mencari pekerjaan.
 
Demikian pula jika seseorang telah ditaqdirkan Allah di maqom tajrid maka ia berpindah ke maqom asbab dengan keinginannya sendiri, maka sebenarnya ia telah menurunkan derajatnya sendiri baik di sisi Allah maupun di sisi manusia.
Misalnya ia melihat orang lain sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia pun meninggalkan ibadahnya untuk bekerja. Padahal meskipun ia tidak bekerja selalu ada rezeki yang dating kepadanya. Maka ini dalam dirinya terjadi 2 penurun derajat. Yang pertama, penurunan derajat disisi Allah karena berkurangnya rasa tawakkalnya. Yang kedua, berkurangnya kehormatannya di sisi manusia, misalnya seorang ulama yang biasa dihormati masyarakatnya kemudian jika ia bekerja maka ia menjadi menjadi bawahan atau pesuruh majikannya.
 
Jadi seseorang ditempatkan oleh dalam maqom asbab atau tajrid itu karena adanya hikmah dan kehendak yang baik dari Allah. Kita harus menerima maqom kita masing-masing dengan baik dan ikhlas karena kita tidak mengetahui rahasia Allah saat menentukan kedudukan maqom kita.
 
Allah SWT berfirman:
 
وَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ، وَعَسَى اَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
 
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah lah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya. [S. al-Baqoroh: 216]
Perpindahan dari maqom asbab (amal dhohir) kepada maqom tajrid (amal batin) itu seharusnya menampakkan bekas kepada anggota-anggota tubuh seorang hamba.
Allah SWT berfirman:
 
إِنَّ الْمُلُوْكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوْهَا
 
Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka akan merusaknya. [S. an-Naml: 34]
 
Tampaknya bekas pada anggota-anggota tubuh setelah perpindahan ke amal batin inilah yang disebut dengan tajrid.
Menurut ahli tasawuf tajrid itu ada 3 macam:
 
1. Tajrid adl-dlohir
Tajrid adl-dlohir adalah meninggalkan sebab-sebab dunia dan penghalang-penghalang jasmani.
Artinya meninggalkan setiap hal yang menyibukkan anggota tubuhnya dari ingat kepada Allah.
Tajrid  adl-dhohir yang sempurna adalah dengan meninggalkan sebab-sebab dunia  dan mengosongkan tubuh dari pakaian-pakaian yang umum.
2. Taajrid al-batin
Tajrid al-Batin adalah meninggalkan ikatan-ikatan jiwa dan penghalang-penghalang keingingan.
Artinya meninggalkan setiap hal yang menyibukkan hati dari kehadiran hatinya bersama Allah.
Tajrid batin yang sempurna adalah dengan mengosongkan hati dari setiap sifat yang tercela.
3. Tajrid adl-dhohir wal batin
Tajrid adl-dlohir wal batin adalah meninggalkan ikatan-ikatan batin dan penghalang-penghalang jasmani.
Artinya menyendirikan hati dan tubuhnya hanya untuk Allah saja.
 
Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata: Adab seseorang yang tajrid ada 4 yaitu:
1. Memulyakan orang yang lebih tua
2. Menyayangi orang yeng lebih muda
3. Menyadari (insaf) akan nafsunya
4. Tidak menuruti (menolong) nafsunya
 
Adab orang yang asbab ada 4 yaitu:
1. Menyayangi dan membantu orang-orang yang baik
2. Menjauhi orang-orang yang fajir (durhaka)
3. Mengerjakan shalat berjama’ah
4. Menyayangi orang-orang miskin
 
Bagi orang di maqom asbab hendaknya ia juga berusaha melakukan adab orang yang tajrid, karena akan menjadi kesempurnaan baginya. Termasuk adab orang di maqom asbab adalah terus menerus (konsisten) melakukan pekerjaannya sampai Allah SWT memindahnya dari maqom asbab ke maqom tajrid.
Tandanya ada isyarat dari gurunya atau jika semua usaha (pekerjaan) yang ia lakukan sudah tidak menghasilkan. Maka barulah ia berpindah ke maqam tajrid.
 
Kesimpulan:
Sesungguhnya orang yang tajrid dan orang yang asbab adalah 2 pekerja Allah SWT, karena kedua-duanya dapat menghasilkan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini dapat diibaratkan seperti majikan yang punya 2 pembantu, maka ia berkata kepada salah satunya :
“Bekerjalah lalu makanlah”, dan ia berkata kepada yang lainnya :”Tetaplah bersamaku nanti aku akan memberimu makan.” Seseorang yang melakukan tajrid tanpa ijin dari Allah maka sebenarnya ia tetap dalam maqom sabab. Dan orang yang melakukan asbab dengan ijin Allah maka sebenarnya ia telah melakukan tajrid.
 
ياحي ياقيوم ، برحمتك استغيث ، فاصلح لي شأني كله ، ولا تكلني الى نفسي طرفة عين
نفعنا الله به والمؤمنين
امــــــــــــــــــــــــ​يـــــــــــــــــــــــــ​ــــن يا رب العالميين
 

Rotibul haddad

Sejarah rotibul haddad

Ratib Al-Haddad ini diambil dari nama penyusunnya, Yakni Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, seorang pembaharu Islam (mujaddid) yang terkenal. Dari doa-doa dan zikir-zikir karangan dan susunan beliau, Ratib Al-Haddad lah yang paling terkenal dan masyhur. Ratib yang bergelar Al-Ratib Al-Syahir (Ratib Yang Termasyhur) disusun berdasarkan inspirasi, pada malam Lailatul Qadar 27 Ramadhan 1071 Hijriyah (bersamaan 26 Mei 1661).

Ratib ini disusun atas permintaan salah seorang murid beliau, ‘Amir dari keluarga Bani Sa’d yang tinggal di sebuah kampung di Shibam, Hadhramaut. Tujuan ‘Amir membuat permintaan tersebut untuk mengadakan suatu wirid dan zikir untuk amalan penduduk kampungnya agar mereka dapat mempertahan dan menyelamatkan diri dari ajaran sesat yang sedang melanda Hadhramaut ketika itu.

Pertama kalinya Ratib ini dibaca di kampung ‘Amir sendiri, yakni di kota Shibam setelah mendapat izin dan ijazah daripada Al-Imam Abdullah Al-Haddad sendiri. Selepas itu Ratib dibaca di Masjid Al-Imam Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim dalam tahun 1072 Hijriah bersamaan tahun 1661 Masehi. Pada kebiasaannya ratib ini dibaca berjamaah bersama doa dan nafalnya, setelah solat Isya’. Pada bulan Ramadhan dibaca sebelum solat Isya’. Mengikut Imam Al-Haddad di kawasan-kawasan di mana Ratib al-Haddad ini diamalkan, dengan izin Allah kawasan-kawasan tersebut selamat dipertahankan dari pengaruh sesat tersebut.

Ketahuilah bahawa setiap ayat, doa, dan nama Allah yang disebutkan di dalam ratib ini dipetik dari Al-Quran dan hadith Rasulullah S.A.W. Ini berdasarkan sarana Imam Al-Haddad sendiri. Beliau menyusun zikir-zikir yang pendek yang dibaca berulang kali, dan dengan itu memudahkan pembacanya.

Keutamaan Rotib Hadad (1)

Cerita-cerita yang dikumpulkan mengenai kelebihan RatibAl-Haddad banyak tercatat dalam buku Syarah Ratib Al-Haddad, antaranya: Telah berkata Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Jufri yang bertempat tinggal di Seiwun (Hadhramaut): “Pada suatu masa kami serombongan sedang menuju ke Makkah untuk menunaikan Haji, bahtera kami terkandas tidak dapat meneruskan perjalanannya kerana tidak ada angin yang menolaknya. Maka kami berlabuh di sebuah pantai, lalu kami isikan gerbah-gerbah (tempat isi air terbuat dari kulit) kami dengan air, dan kami pun berangkat berjalan kaki siang dan malam, kerana kami bimbang akan ketinggalan Haji. Di suatu perhentian, kami cuba meminum air dalam gerbah itu dan kami dapati airnya payau dan masin, lalu kami buangkan air itu. Kami duduk tidak tahu apa yang mesti hendak dibuat. Maka saya anjurkan rombongan kami itu untuk membaca Ratib Haddad ini, mudah-mudahan Allah akan memberikan kelapangan dari perkara yang kami hadapi itu. Belum sempat kami habis membacanya, tiba-tiba kami lihat dari kejauhan sekumpulan orang yang sedang menunggang unta menuju ke tempat kami, kami bergembira sekali. Tetapi ketika mereka mendekati kami, kami dapati mereka itu perompak-perompak yang kerap merampas harta-benda orang yang lalu-lalang di situ. Namun rupanya Allah Ta’ala telah melembutkan hati mereka bila mereka dapati kami terkandas di situ, lalu mereka memberi kami minum dan mengajak kami menunggang unta mereka untuk disampaikan kami ke tempat sekumpulan kaum Syarif* tanpa diganggu kami sama sekali, dan dari situ kami pun berangkat lagi menuju ke Haji, syukurlah atas bantuan Alloh SWT karena berkat membaca Ratib ini.

Cerita ini pula diberitakan oleh seorang yang mencintai keturunan Sayyid, katanya: “Sekali peristiwa saya berangkat dari negeri Ahsa’i menuju ke Hufuf. Di perjalanan itu saya terlihat kaum Badwi yang biasanya merampas hak orang yang melintasi perjalanan itu. Saya pun berhenti dan duduk, di mana tempat itu pula saya gariskan tanahnya mengelilingiku dan saya duduk di tengah-tengahnya membaca Ratib ini. Dengan kuasa Alloh mereka telah berlalu di hadapanku seperti orang yang tidak menampakku, sedang aku memandang mereka.” Begitu juga pernah berlaku semacam itu kepada seorang alim yang mulia, namanya Hasan bin Harun ketika dia keluar bersama-sama teman-temannya dari negerinya di sudut Oman menuju ke Hadhramaut. Di perjalanan mereka dibajak oleh gerombolan perompak, maka dia menyuruh orang-orang yang bersama-samanya membaca Ratib ini. Alhamdulillah, gerombolan perompak itu tidak mengapa-apakan siapapun, malah mereka berlalu dengan tidak mengganggu.

Apa yang diberitakan oleh seorang Arif Billah Abdul Wahid bin Subait Az-Zarafi, katanya: Ada seorang penguasa yang ganas yang dikenal dengan nama Tahmas yang juga dikenal dengan nama Nadir Syah. Tahmas ini adalah seorang penguasa ajam yang telah menguasai banyak dari negeri-negeri di sekitarannya. Dia telah menyediakan tentaranya untuk memerangi negeri Aughan. Sultan Aughan yang bernama Sulaiman mengutus orang kepada Imam Habib Abdullah Haddad memberitahunya, bahwa Tahmas sedang menyiapkan tentera untuk menyerangnya. Maka Habib Abdullah Haddad mengirim Ratib ini dan menyuruh Sultan Sulaiman dan rakyatnya membacanya. Sultan Sulaiman pun mengamalkan bacaan Ratib ini dan memerintahkan tenteranya dan sekalian rakyatnya untuk membaca Ratib i ini dengan bertitah: “Kita tidak akan dapat dikuasai Tahmas kerana kita ada benteng yang kuat, iaitu Ratib Haddad ini.” Benarlah apa yang dikatakan Sultan Sulaiman itu, bahwa negerinya terlepas dari penyerangan Tahmas dan terselamat dari angkara penguasa yang ganas itu dengan sebab berkat Ratib Haddad ini.

Saudara penulis Syarah Ratib Al-Haddad ini yang bernama Abdullah bin Ahmad juga pernah mengalami peristiwa yang sama, yaitu ketika dia berangkat dari negeri Syiher menuju ke bandar Syugrah dengan kapal, tiba-tiba angin macet tiada bertiup lagi, lalu kapal itu pun terkandas tidak bergerak lagi. Agak lama kami menunggu namun tidak berhasil juga. Maka saya mengajak rekan-rekan membaca Ratib ini , maka tidak berapa lama datang angin membawa kapal kami ke tujuannya dengan selamat dengan berkah membaca Ratib ini.

Suatu pengalaman lagi dari Sayyid Awadh Barakat Asy-Syathiri Ba’alawi ketika dia belayar dengan kapal, lalu kapal itu telah tersesat jalan sehingga membawanya terkandas di pinggir sebuah batu karang. Ketika itu angin juga macet tidak dapat menggerakkan kapal itu keluar dari bahayanya. Kami sekalian merasa bimbang, lalu kami membaca Ratib ini dengan niat Alloh akan menyelamatkan kami. Maka dengan kuasa Alloh SWT datanglah angin dan menarik kami keluar dari tempat itu menuju ke tempat tujuan kami. Maka kerana itu saya amalkan membaca Ratib ini. Pada suatu malam saya tertidur sebelum membacanya, lalu saya bermimpi Habib Abdullah Haddad datang mengingatkanku supaya membaca Ratib ini, dan saya pun tersadar dari tidur dan terus membaca Ratib Haddad itu.

Di antaranya lagi apa yang diceritakan oleh Syeikh Allamah Sufi murid Ahmad Asy-Syajjar, iaitu Muhammad bin Rumi Al-Hijazi, dia berkata: “Saya bermimpi seolah-olah saya berada di hadapan Habib Abdullah Haddad, penyusun Ratib ini. Tiba-tiba datang seorang lelaki memohon sesuatu daripada Habib Abdullah Haddad, maka dia telah memberiku semacam rantai dan sayapun memberikannya kepada orang itu. Pada hari besoknya, datang kepadaku seorang lelaki dan meminta daripadaku ijazah (kebenaran guru) untuk membaca Ratib Haddad ini, sebagaimana yang diijazahkan kepadaku oleh guruku Ahmad Asy-Syajjar. Aku pun memberitahu orang itu tentang mimpiku semalam, yakni ketika saya berada di majlis Habib Abdullah Haddad, lalu ada seorang yang datang kepadanya. Kalau begitu, kataku, engkaulah orang itu.” Dari kebiasaan Syeikh Al-Hijazi ini, dia selalu membaca Ratib Haddad ketika saat ketakutan baik di siang hari mahupun malamnya, dan memang jika dapat dibaca pada kedua-dua masa itulah yang paling utama, sebagaimana yang dipesan oleh penyusun Ratib ini sendiri. Ada seorang dari kota Quds (Syam) sesudah dihayatinya sendiri tentang banyak kelebihan membaca Ratib ini, dia lalu membuat suatu ruang di sudut rumahnya yang dinamakan Tempat Baca Ratib, di mana dikumpulkan orang untuk mengamalkan bacaan Ratib ini di situ pada waktu siang dan malam.

Di antaranya lagi, apa yang diberitakan oleh Sayyid Ali bin Hassan, penduduk Mirbath, katanya: “Sekali peristiwa aku tertidur sebelum aku membaca Ratib, aku lalu bermimpi datang kepadaku seorang Malaikat mengatakan kepadaku: “Setiap malam kami para Malaikat berkhidmat buatmu begini dan begitu dari bermacam-macam kebaikan, tetapi pada malam ini kami tidak membuat apa-apa pun karena engkau tidak membaca Ratib. Aku terus terjaga dari tidur lalu membaca Ratib Haddad itu dengan serta-merta.

Setengah kaum Sayyid bercerita tentang pengalamannya: “Jika aku tertidur ketika aku membaca Ratib sebelum aku menghabiskan bacaannya, aku bermimpi melihat berbagai-bagai hal yang mengherankan, tetapi jika sudah menghabiskan bacaannya, tidak bermimpi apa-apa pun.”

Di antara yang diberitakan lagi, bahawa seorang pecinta kaum Sayyid, Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad Mughairiban yang tinggal di negeri Shai’ar, dia bercerita: “Dari adat kebiasaan Sidi Habib Zainul Abidin bin Ali bin Sidi Abdullah Haddad yang selalu aku berkhidmat kepadanya tidak pernah sekalipun meninggalkan bacaan Ratib ini. Tiba-tiba suatu malam kami tertidur pada awal waktu Isya', kami tidak membaca Ratib dan tidak bersembahyang Isya', semua orang termasuk Sidi Habib Zainul Abidin. Kami tidak sedarkan diri melainkan di waktu pagi, di mana kami dapati sebagian rumah kami terbakar.

Kini tahulah kami bahwa semua itu berlaku karena tidak membaca Ratib ini. Sebab itu kemudian kami tidak pernah meninggalkan bacaannya lagi, dan apabila sudah membacanya kami merasa tenteram, tiada sesuatupun yang akan membahayakan kami, dan kami tidak bimbang lagi terhadap rumah kami, meskipun ia terbuat dari dedaunan korma, dan bila kami tidak membacanya, hati kami tidak tenteram dan selalu kebimbangan.”

Berkata Habib Alwi bin Ahmad, penulis Syarah Ratib Al-Haddad: “Siapa yang melarang orang membaca Ratib ini dan juga wirid-wirid para salihin, niscaya dia akan ditimpa bencana yang berat daripada Allah Ta’ala, dan hal ini pernah berlaku dan bukan omong-omong kosong.” Berkata Sidi Habib Muhammad bin Zain bin Semait Ba’alawi di dalam kitabnya Ghayatul Qasd Wal Murad: Telah berkata Saiyidina Habib Abdullah Haddad: “Siapa yang menentang atau membangkang orang yang membaca Ratib kami ini dengan secara terang-terangan atau disembunyikan pembangkangannya itu akan mendapat bencana seperti yang ditimpa ke atas orang-orang yang membelakangi zikir dan wirid atau yang lalai hati mereka dari berzikir kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatiKu, maka baginya akan ditakdirkan hidup yang sempit.” ( Thaha: 124 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingati Tuhan Pemurah, Kami balakan baginya syaitan yang diambilnya menjadi teman.”

( Az-Zukhruf: 36 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Tuhannya, Kami akan menurukannya kepada siksa yang menyesakkan nafas.” ( Al-Jin: 17)

(1) Dipetik dari: Syarah Ratib Haddad: Analisa Dan Komentar - karangan Syed Ahmad Semait, terbitan Pustaka Nasional Pte. Ltd.

 

الراتب الشهير

للحبيب عبد الله بن علوي الحداد

Ratib Al Haddad Moga-moga Allah merahmatinya [Rahimahu Allahu Ta’ala]

يقول القارئ: الفَاتِحَة إِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَشَفِيعِنَا وَنَبِيِّنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم - الفاتحة-

1. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيِّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ. آمِيْنِ

2. اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ.

3. آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّه وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ غُفْراَنَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

4. لاََ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنآ أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْناَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

5 لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (X3)

6. سٌبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اْللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. (X3)

7.سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ. (X3)

8. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. (X3)

9.اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ. ( X3)

10. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ. (X3)

11. بِسْـمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُـرُّ مَعَ اسْـمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي الْسَّمَـآءِ وَهُوَ الْسَّمِيْـعُ الْعَلِيْـمُ. (X3)

12. رَضِيْنَـا بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْـلاَمِ دِيْنـًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيّـًا. (X3)

13. بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْخَيْرُ وَالشَّـرُّ بِمَشِيْئَـةِ اللهِ. (X3)

14. آمَنَّا بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُبْناَ إِلَى اللهِ باَطِناً وَظَاهِرًا. (X3)

15. يَا رَبَّنَا وَاعْفُ عَنَّا وَامْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا. (X3)

16. ياَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْراَمِ أَمِتْناَ عَلَى دِيْنِ الإِسْلاَمِ. (X7)

17. ياَ قَوِيُّ ياَ مَتِيْـنُ إَكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْـنَ. (X3)

18. أَصْلَحَ اللهُ أُمُوْرَ الْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّ الْمُؤْذِيْنَ. (X3)

19. يـَا عَلِيُّ يـَا كَبِيْرُ يـَا عَلِيْمُ يـَا قَدِيْرُ

يـَا سَمِيعُ يـَا بَصِيْرُ يـَا لَطِيْفُ يـَا خَبِيْرُ. (X3)

20. ياَ فَارِجَ الهَمِّ يَا كَاشِفَ الغَّمِّ يَا مَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُ وَيَرْحَمُ. (X3)

21. أَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنَ الْخَطَاياَ.(X4)

22. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (X50)

23. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعاَلَى عَنْ آلِ وَأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَعَلَيْناَ مَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

24. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَـدٌ. اَللهُ الصَّمَـدُ. لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يٌوْلَـدْ. وَلَمْ يَكُـنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَـدٌ. (3X3)

25. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ ماَ خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَد

26. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ.

27. اَلْفَاتِحَةَ

إِلَى رُوحِ سَيِّدِنَا الْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ مُحَمَّد بِن عَلِيّ باَ عَلَوِي وَأُصُولِهِمْ وَفُرُوعِهِمْ وَكفَّةِ سَادَاتِنَا آلِ أَبِي عَلَوِي أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.

28. اَلْفَاتِحَةَ

إِلَى أَرْوَاحِ ساَدَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ أَيْنَمَا كَانُوا فِي مَشَارِقِ الأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا وَحَلَّتْ أَرْوَاحُهُمْ - أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِعُلُومِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ، وَيُلْحِقُنَا بِهِمْ فِي خَيْرٍ وَعَافِيَةٍ.

29. اَلْفَاتِحَةَ

إِلَى رُوْحِ صاَحِبِ الرَّاتِبِ قُطْبِ الإِرْشَادِ وَغَوْثِ الْعِبَادِ وَالْبِلاَدِ الْحَبِيْبِ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَلَوِي الْحَدَّاد وَأُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّة وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ بَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.

30. اَلْفَاتِحَة

إِلَى كَافَّةِ عِبَادِ اللهِ الصّالِحِينَ وَالْوَالِدِيْنِ وَجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ أَنْ اللهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيَنْفَعُنَا بَأَسْرَارِهِمْ وبَرَكَاتِهِمْ

31. (ويدعو القارئ):

اَلْحَمْدُ اللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وأَهْلِ بَيْتِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ الْفَتِحَةِ الْمُعَظَّمَةِ وَالسَّبْعِ الْمَثَانِيْ أَنْ تَفْتَحْ لَنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَتَفَضَّلَ عَلَيْنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تُعَامِلُنَا يَا مَوْلاَنَا مُعَامَلَتَكَ لأَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تَحْفَظَنَا فِي أَدْيَانِنَا وَأَنْفُسِنَا وَأَوْلاَدِنَا وَأَصْحَابِنَا وَأَحْبَابِنَا مِنْ كُلِّ مِحْنَةٍ وَبُؤْسٍ وَضِيْر إِنَّكَ وَلِيٌّ كُلِّ خَيْر وَمُتَفَضَّلٌ بِكُلِّ خَيْر وَمُعْطٍ لِكُلِّ خَيْر يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن.

32. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ رِضَـاكَ وَالْجَنَّـةَ وَنَـعُوْذُ بِكَ مِنْ سَـخَطِكَ وَالنَّـارِ. (X3)

Sholat jama' serta caranya

Semoga bermanfaat
Definisi Jama’
•Jama’ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam satu waktu. Shalat yang bisa di-jama’ ialah shalat zhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’.  Sedangkan shalat shubuh tidak bisa di-jama’ secara mutlak. Jama’ terbagi menjadi dua macam: yakni jama’ taqdîm dan jama’ ta’khîr.
•Jama’ taqdîm ialah: mengerjakan shalat di waktu yang pertama. Semisal menjama’ shalat zhuhur dengan ashar, maka kedua shalat tersebut dikerjakan di waktunya shalat zhuhur.
•Jama’ ta’khîr ialah mengerjakan shalat di waktu yang kedua. Semisal men-jama’ shalat maghrib dengan isya’, maka kedua shalat tersebut dilaksanakan pada waktunya shalat isya’.
Seorang musafir bisa men-jama’ shalatnya jika berada dalam perjalanan yang diperbolehkan untuk meng-qashar shalat, seperti yang telah diterangkan di atas.
 
Syarat-syarat Jama’
 
a. Syarat-syarat Jama’ Taqdîm
 
Syarat-syarat jama’ taqdîm ada empat:
1. Tartîb (dilakukan secara berurutan).
Apabila musafir mau melakukan jama’ shalat dengan jama’ taqdîm, maka dia harus mendahulukan shalat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan men-jama’ shalat maghrib dengan isya’, maka dia harus mengerjakan shalat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah shalat isya’, maka shalat isya’nya tidak sah. Dan, apabila dia masih mau melakukan jama’, maka harus mengulangi shalat isya’nya setelah shalat maghrib. Bahkan apabila setelah mengerjakan jama’ taqdîm secara berurutan, ia baru ingat bahwa shalat yang pertama tidak sah, maka secara otomatis shalat yang kedua tidak dianggap, sebab dengan begitu ia berarti tidak mengerjakan syarat jama’ taqdîm yang berupa berurutan. Namun, menurut pendapat yang shahîh, shalat tersebut dianggap sebagai shalat sunnat.
 
2. Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama.
Apabila musafir hendak melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdîm, maka ia harus berniat jama’ pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama. Jadi, selagi ia masih ada dalam shalat yang pertama, waktu niat jama’ masih ada. Namun, yang lebih utama, niat jama’ dilakukan bersamaan dengan takbîratul ihrâm.
 
Adapun contoh bacaan lafal niatnya:
a. Niat shalat zhuhur di-jama’ taqdîm dengan ashar:
 
أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مَجْمُوْعًا بِالْعَصْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا/إِمَامًا لله تَعَالَى.
 
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu zhuhur sebanyak empat rakaat dikumpulkan dengan shalat ashar dengan jama’ taqdîm (menjadi makmum/imam)  karena Allah Ta’ala.
 
b. Lafal Niat shalat maghrib di-jama’ taqdîm dengan isya’:
 
أُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعاَتٍ مَجْمُوْعًا بِالْعِشَاءِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا/إِمَامًا لله تَعَالَى.
 
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu maghrib sebanyak tiga rakaat dikumpulkan dengan shalat isya’ dengan jama’ taqdîm (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
 
3. Bersegera (Muwalah).
Maksudnya, antara kedua shalat tidak ada selang waktu yang dianggap lama oleh ‘uruf (kebiasaan). Apabila  dalam jama’ terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama oleh ‘uruf, seperti melakukan shalat sunnat, maka ia tidak dapat melakukan jama’.
 
4. Masih berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua.
Orang yang men-jama’ shalatnya harus berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan shalat yang kedua ada niat mukim, maka tidak boleh melakukan jama’ sebab udzurnya dianggap habis.
 
Catatan: Diperkenankannya men-jama’ shalat, di samping harus memenuhi beberapa syarat yang telah disebutkan di atas, syarat-syarat yang ada dalam qashar juga harus terpenuhi semua.
 
b. Syarat-syarat Jama’ Ta’khîr
 
Syarat syarat jama’ ta’khîr ada dua:
1. Niat jama’ di waktu shalat yang pertama.
Waktu niat dalam jama’ ta’khîr ialah mulai masuknya waktu shalat yang pertama sampai tersisa waktu kira-kira memuat satu rakaat. Misalnya yang akan di jama’ ta’khir adalah shalat zhuhur dengan ashar, maka niat jama’ ta’khîr bisa dilakukan mulai masuk waktu zhuhur sampai tersisa waktu satu rakaat. Jadi, apabila seseorang yang hendak melakukan jama’ ta’khîr, namun tidak niat jama’ sampai waktu shalat yang pertama habis, maka orang tersebut berdosa dan shalat yang pertama menjadi qadha’, bukan jama’.
Pada saat melaksanakan shalat tidak perlu berniat jama’ lagi, cukup niat jama’ yang sudah dilakukan pada waktunya shalat yang pertama. Niat shalatnya seperti shalat biasa.
 
2. Tetap berada dalam perjalanan sampai selesainya shalat yang kedua.
Apabila sebelum selesainya shalat kedua, ia berubah status menjadi mukim (baik dengan niat mukim di tengah-tengah shalat  atau ragu: apakah dia niat mukim atau tidak) maka shalat yang pertama tidak jadi dan harus di-qadhâ’, hanya saja si musafir tidak berdosa.
 
Sedangkan tartîb (berurutan) dan muwâlat (bersegera) tidak menjadi persyaratan dalam jama’ ta’khîr. Dengan kata lain, musafir bebas memilih, shalat mana yang akan didahulukan, dan apakah ia mau melaksanakannya dengan muwâlat atau tidak. Akan tetapi ketika waktu shalat yang kedua sudah sempit maka ia wajib mendahulukan shalat yang kedua.
 
Keterangan: Sebenarnya, menurut sebagian ulama bolehnya melaksanakan jama’ tidak hanya untuk musafir saja, namun boleh juga bagi orang yang sakit keras, jika misalnya ia mengerjakan shalat satu persatu di masing-masing waktunya, maka sangat menyulitkan (masyaqqah syadîdah). Ini merupakan pendapat Imam Nawawi dalam kitab al-Majmû’ yang didukung oleh beberapa ulama yang lain.
 
Cara shalat yang paling ringan adalah melakukan jama’ ta’khîr zhuhur-ashar di akhir waktu ashar, lalu melakukan jama’ taqdîm maghrib-isya’ di awal waktu maghrib. Dengan demikian, seseorang bisa melakukan empat shalat itu hanya dengan satu kali berwudhu.
 
Jama’ Qashar secara Bersamaan
 
Orang yang berada dalam perjalanan bisa melakukan jama’ dan qashar sekaligus, asalkan sudah memenuhi syarat untuk melakukan keduanya. Dengan melakukan jama’-qashar sekaligus, maka seorang musafir setelah melakukan shalat zhuhur dua rakaat, ia langsung shalat ashar dua rakaat; atau setelah shalat maghrib tiga rakaat, langsung melakukan shalat isya’ dua rakaat.
 
Contoh bacaan niatnya sebagai berikut:
a. Lafal Niat shalat zhuhur di-jama’ taqdîm dengan ashar secara qashar.
 
أُصَلِّى فَرْضَ الْظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ مَجْمُوْعًا بِالْعَصْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ قَصْرًا ِللهِ تَعَالَى.
 
Artinya: Saya niat shalat fardhu zhuhur dua rakaat di-jama’ taqdîm dengan ashar sambil diqashar karena Allah Ta’ala.
 
b. Lafal Niat shalat ashar di-jama’ taqdîm dengan zhuhur secara qashar.
 
أُصَلِّى فَرْضَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ مَجْمُوْعًا بِالْظُّهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ قَصْرًا ِللهِ تَعَالَى.
 
Artinya: Saya niat shalat fardhu ashar dua rakaat di-jama’ taqdîm dengan zhuhur sambil diqashar karena Allah Ta’ala.
 
============
Dari buku : Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101. Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
============

Charly setia band nyantri di pp syaichona cholil

https://youtu.be/2ELP8ewuNHc https://youtu.be/2ELP8ewuNHc